SERENEDE untuk Sang Gitaris
“Hidup Berawal dari Mimpi”
Benarkah itu…?!
Hai… namaQ Rhesa, lengkapnya Rhesa Zahrani Ihsanah. Cewek 15 tahun yang hoby voly n’ tomboy abiz. Aq paling g’ suka diatur-atur, aq suka bertingkah bebas.
Barusan aja aq lepas dari SMP (Senandung Masa Puber) he..he..he.. And now…. Aq masuk dunia SMA. Dan hari ini adalah hari pertama aku memasuki masa MOS, alias masa dimana aku disuruh ngelakuin berbagai hal memalukan para senior OSIS itu. Haduh… Capek, deh!
“Alfredo.”
“Ada.”
“Ananda.”
“Ada.”
“Andar.”
Tak ada jawaban.
“Andar,” tetap gak ada jawaban. “Hei… yang namanya Andar siapa?”
“Aku.”
Seorang cowok bertubuh tinggi, berambut cepak, agak kurus, datang menghampiri senior OSIS itu plus senyumannya (sepertinya dia playboy).
“Kamu yang namanya Andar? Darimana kamu?”
“Dari rumah, Kak!”
Santai banget jawabannya, Bang…!
Gak tanggung-tanggung… gak Tanya-tanya… tuh anak langsung disuruh ngambilin seluruh sampah yang ada di lapangan. Cucian, deh Loe!
Pasti… siapa, sih yang gak seuju kalo aku bilang, masa MOS adalah masa paling nyebelin? Setuju, kan? SIP…! Kita disuruh pake’ pakaian kayak badut. Dikuncir sana-sini, pake’ karet gelang sebanyak 30 tali. Malu, Brow…!
“Yang gak bawa karet, silakan ke depan!”
Ah… kasihan sekali mereka! Pasti senior itu ngehukum mereka dengan berbagai hal memalukan.
“Hei… kamu! Aku minta sedikit karet gelangnya , ya! Aku gak bawa satu pun, nih!”
Seorang cowok yang satu gugus sama aku mulai merayu. He… he… he… Ini, kan anak yang telat tadi?
“Sini, aku minta, ya!” katanya sambil menarik karet gelang dari tanganku tanpa permisi.
“Apaan, sih… lepasim!” teriakku.
“Dikit aja! Ntar aku kena hukuman.”
“Bodoh amat, itu bukan urusanku! Lepasiiin!” teriakku.
“Hei… diaaam!” bentak seorang senior.
Dasar siaaal…! Brengsek tuh anak! Gara-gara dia aku jadi kena hukman. Kami disuruh ngebersihin toilet. Ahg… sial!
“Ngebosenin banget, ya acara MOSnya, gak seru!” celoteh tuh cowok. “Eh, ngomong-ngomong, kita belum kenalan. Aku Andar, namamu siapa?”
Aku meliriknya dan kembali ngepel lantai toilet itu.
“Dari tadi kau diam aja,” katanya lagi. “Namamu siapa? Jangan-jangan… kau bisu, ya?”
Gubrak…! Aku ngebanting ember air itu. Wajahku masam. Ya iyalah… bayangin aja, gimana aku gak sebel? Tuh cowok yang ngebuat aku dihukum. Eh… dia malh enak-enakan ngorcit (Ngocrot irit gak pake’ pulsa).
“Heh… dengar, ya! Daripada kau ngorcit terus, mendingan kau bantuin aku nyelesein hukuman ini biar kita cepet keluar dari tempat ini. Aku udah gak tahan dengan bau di sini.”
“Kenapa? Enakan di sini. Daripada ikutan kegiatan MOS yang ngebosenin. Iya, kan?” jawabnya enteng.
Haduuuh… nie cowok udah gak waras…!
Hari pertama di SMA dan segalanya jadi menyebalkan gara-gara tuh cowok stress!
Langsung aja, ya ceritanya!
Masa 3 hari MOS udah terlewati. Sekarang aku udah resmi jadi siswi di salah satu SMA favorit di daerahku. Bangga, Brow! Secara… gak semua anak bisa keterima di sekolah ini. He… he… he…
“Hai… Nona Jutek!”
“Hah?!”
Sempat shock…!
Seorang cowok yang tinggi, agak kurus dan berambut cepak datang menyapaku.
“Wah… kita sekelas, ya,” katanya sambil tersenyum.
Ya ampun… kenapa, sih?! Kenapa aku musti sekelas dengan Andar? Cowok menyebalkan yang selalu ngebuat aku sial.
“Biar aku perkenalkan diriku, agar kita lebih akrab, ya, Nona Jutek?” ujarnya sambil merapikan seragamnya.
*Hai… Namaku Andar Ikram Ihsanurdin
Aku lulusan MTS
Hobiku maen gitar dan maen PS
Cita-citaku… Ehm, cita-citaku adalah…
Gak ada yang aku pengen, sih. Cuma 1, yaitu…
MASUK SURGA…*
“Namamu siapa?”
“Rhe… Rhesa.”
“Ow… Hai!”
Andar…!
Ya… itulah yang mengawali kisah persahabatanku bersamanya.
Apa yang aku tau tentangnya?
Ehm… Dia gak banyak omong, tapi bukan cowok alim yang pendiem, lho, ya! Dari tampang… gak cakep-cakep amat. Dia hobi banget kabur saat jam pelajaran. Biasanya, sih nongkrong di kantin atau ngerokok ama soulmate-soulmatenya di WC. Tapi jangan salah… fans-fansnya buuuanyak banget. Dari mulai yang ada di kelas X sampe’ yang ada di kelas XII. Dia emang gak sukses dalam bidang akademik, tapi dia sukses jadi playboy. Ha… ha… ha… Tapi jangan menilai buruk dulu…! Nih cowok juga punya kelebihan, yaitu dia gitaris di salah satu band di extra seni yang bernama KOSONK BAND! Dia jago, lho…! Cuma itu, tuh yang ngebuat aku berpikir positif ke dia, laennya… Enggak…!
Saat itu adalah jam kosong dan kebetulan kelasQ bersebelahan dengan perpustakaan. Tapi kayaknya temen2 lebih suka ngabisin waktu di kantin, deh ya…, aq sendirian di perpus.
Ketika aq sedang asyik membolak-balik buku yang memuat kunci2 gitar… seorang cowok berlari kedalam dan bersembunyi di pojok rak buku dengan nafas tersengal-sengal.
“Kau kenapa?” tanyaku heran
“Sssttt……!”
Tiba-tiba, mbak Windy…seorang cewek krlas XII menyusul masuk dan berteriak keras…..”Andar…..!!!”
Wuaduh…!!!
“Heh… kau lihat Andar masuk sini, gak?” Tanya Mbak Windy.
“Andar?!”
Aku meliriknya dan Andar memberiku isyarat agar aku bungkam.
“Oh… Andar?” ucapku kemudian. “Dia tadi emang ke sini, Mbak… tapi lari lagi ke arah Barat lewat ruang BP.”
“Oh…! Makasih, ya! Andaaaar!” teriaknya.
Andar keluar dari persembunyiannya dengan menghela napas lega. Dia menarik kursi di sebelahku dan mendudukinya. Dan aku… aku sama sekali tak tertarik untuk menanyakan seluk-beluk kisahnya dengan Miss Menor … Windy!
“Makasih, Rhes… untung ada kau, kalo gak? Huh…!” ucapnya dengan ekspresi merinding. “Tuh cewek bener-bener agresif. Menakutkan!”
Masa’ bodoh… aku gak peduli dengan celotehannya.
“Eh, ngomong-ngomong… kau itu ternyata adiknya Apin, ya?”
Aku hanya mengangguk untuk ngejawab pertanyaannya.
“Ya… aku baru tau tadi saat aku melihat foto kalian bersama saat masih kecil. Tapi kau tak mirip dengannya. Kau lebih jutek. Ha… ha… ha…”
“Berisiiik! Diam napa?!” bentakku.
“Oke… oke!”
Jangan kaget kalo si Andar ini akrab sama Kak Apin. Dia emang temen ngebandnya. Dan lagi… mereka sama-sama 1 sekbid dalam OSIS, jadi udah akrab banget.
“Yup’z… ini dia yang kucari!” teriaknya kegirangan. “Coba kau lihat, Rhes! Ini adalah lagu yang ingin aku mainkan saat HUT ntar. Lagunya cocok dengan karakter suara Ahmad.”
“Kau mau tampil di HUT Skul ntar?” tanyaku.
“Ya, pastinya! Selain anak-anak ngajak maen, HUT Skul kan juga paz banget dengan ultahQ. He… he… he… Jadi, ya… wajib ikut!”
“Asyik, donk… ultahnya dirayain orang seskul!”
“Yo’i…! Aku nyari Ahmad dulu, ya. Ntar kalo ada gurunya kau panggil aku, oke!”
“Malezzz…!”
Pernahkah kalian berpikir bahwa membuat orang mengira hidup kita selalu bahagia itu sangat mudah? Jawabannya “IYA”. Dengan senyuman palsu! Siapapun bisa tertipu dengan sebuah senyuman.
Hari terlihat mulai senja. Matahari di sebelah Barat pun mulai mengantuk untuk terus bersinar. Dengan motornya yang udah dimodif ala anak muda jaman sekaramg, Andar memasuki pelataran rumahnya.
Brakkk… brakkk… brakkk…!
“Aku gak akan kembali ke rumah ini lagi! Aku sudah muak dengan seluruh penghuni rumah ini.”
Seorang pemuda berambut gondrong berteriak-teriak seperti kesetanan. Mengambil motor dan berlalu melewati garasi rumah.
“Kak Radit, tunggu…!” kata Andar dengan menarik tangan pemuda itu. “Kakak mau kemana?”
Pemuda itu menatap Andar dan berlalu pergi tanpa berucap apapun.
“Kak Radiiit!” teriak Andar.
Seorang lelaki berumur sekitar 40 tahun, berbadan gemuk dan terlihat masih tampak muda, berdiri di depan pintu dengan wajah kesal. Andar menghampirinya. Dengan sikap penuh hormat, dia bertanya,
“Ada apa, Yah? Kenapa dengan Kak Radit?”
“Masuk ke kamarmu, sekarang!”
“Tapi…”
“Sudah, cepat masuk!”
Tak bertanya lagi. Dia langsung berlari ke kamarnya. Seorang perempuan yang tampak begitu sabar, menghampiri Pak Yos, ayah Andar. Perempuan itu memberinya segelas tea.
“Satrio… sini, Nak!” kata perempuan itu.
Seorang anak kecil berusia 3 tahunan datang dan duduk di pangkuan ibunya.
“Sudahla, Pak… tenangkan dirimu!”
“Bagaimana bisa tenang, Bu?” kata Pak Yos geram. “Radit benar-benar tak bisa diatur. Motor baru sudah dia jadikan gak karu-karuan sepertti itu. Minum-minum sampe’ seluruh tetangga membicarakannya. Dan sekarang dia pulang dalam keadaan mabok untuk minta uang. Keterlaluan dia!”
Mendengar geraman ayahnya, hati Andar semakin kacau. Ditelengkupkan tubuhnya di atas kasur dan dipandanginya sebuah foto, kelihatannya foto keluarga. Kejadian seperti ini emang udah biasa terjadi di rumahnya. Keramaian… bentrokan… semua seperti jadwal rutin yang emang wajib untuk dilalui.
“Mau kemana kau?”
Itu adalah malam sehabis Isya’. Pak Yos melihat Andar keluar sambil memawa gitarnya.
Pip… pip… pip… pip…
“Halo… Apa?!” pekik Pak Yos ketika menerima telephon. “Baiklah, ya… Saya akan segera ke sana!”
“Ada apa, Pak?” Tanya si ibu.
“Radit ada di kantor polisi, dia nabrak orang.”
“Astagfirulloh Hal’adzim,” desis sang ibu.
“Andaaar!” teriak Pak Yos yang melihat Andar pergi. “Susah diatur!”
Tak tau musti kemana, yang penting bisa pergi jauh dari rumah. Itu yang ada di benak Andar. Hatinya semakin kacau dengan berita tentang kakaknya itu. Permasalahan yang sama selalu saja terjadi. Dan itu selalu berakhir dengan kemarahan samg ayah yang selalu ngebentak-bentak gak karuan. Dihentikannya motor itu di sisi sebuah telaga. Sunyi… dia bunuh diri pun gak akan ada yang tau!
“Aaaaaahg!” teriaknya. “Brengseeeek! Semuanya brengseeek… Aaaahg!”
“Udah puas? Nih minum!”
“Sejak kapan kau di sini?”
“Cukup lama untuk menyaksikan semua tingkah bodohmu.”
Itu adalah Ahmad, vokalis dalam bandnya. Mereka adalah sahabat karib yang lengket banget. Dimana ada Andar, di situ ada Ahmad.
“Tadi niatnya, sih mau ke rumahmu,” ucap Ahmad tiba-tiba. “Tapi aku lihat kau keluar rumah dan aku mengikutimu. Perasaanku gak enak saat melihat caramu nyetir, makanya aku mengikutimu.”
Andar masih tak bergeming. Dia memandang jauh ke tengah telaga. Malu… saat ini pasti Ahmad berpikir betapa tak berdayanya seorang Andar.
“Mau kemana?” tanya Ahmad yang melihat Andar beranjak.
“Bukan urusanmu!” jawabnya enteng.
“Aku ikut!”
“Tidak!”
“Aku mau ikut!” paksa Ahmad.
“Aku bilang gak, ya, gak!” teriak Andar.
“Sebelum kau pergi, langkahi dulu mayatku! Kita berkelahi sampe’ mati di sini!” tantang Ahmad.
Ah… perasaan lagi kacau, Ahmad malah mancing perkara. Ditatapnya Ahmad dengan pandangan liar. Diangkat tangannya dan diletakkannya di atas bahu Ahmad.
“Dasar bodoh!” ucap Andar sambil tersenyum kecil.
Ahmad pun ikut nyengir.
“Kau gak takut ikut denganku?” tanya Andar.
“Justru aku akan takut jika membiarkanmu pergi sendirian.”
“Ayo!” ajak Andar pasrah.
“Siiiip!”
Mereka menuju ke arah Barat. Gak tau kemana? Ahmad belum pernah ke tempat itu sebelumnya.
“Kita ini mau kemana?” tanya Ahmad.
Andar tak menjawab. Dia terus nyetir motornya, tapi kecepatan yang sangat pelan. Sampe’ akhirnya mereka ada di sebuah perkampungan kecil yang cukup sepi.
“Kau sudah makan?” Tanya Andar.
Tapi sebelum Ahmad menjawab didahuluinya untuk berkata,
“Ayo kita salurkan bakat!”
Jreng… jreng… jreng…
Petikan gitar pun terdengar. Mereka jalan dari rumah ke rumah. Tau, kan maksudku? Yup’z tepat banget! Mereka ngamen. Ya, biarin aja… itung-itung nyalurin bakat. Kegiatan itu sedikit bisa ngebuat Andar ngelupain permasalahannya di rumah. Dia terlihat lebih riang. Dan itu ngebuat Ahmad sedikit lega.
Tapi permasalahan kembali terjadi saat mereka sampe’ di sebuah rumah. Andar tak segera memetik gitarnya. Dia malah berdiri terpaku di halaman rumah itu.
“Erika… ambilin uang! Ada yang ngamen tuh!” teriak seorang perempuan setengah baya yang duduk di ruang tamu.
Kemudian seorang wanita yang berusia kira-kira 24 tahun berjalan menghampiri pengamen itu dengan membawa uang receh.
“Terima kasih,” kata Ahmad.
Wanita itu kembali ke dalam rumah. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat mendengar namanya disebut.
“Mbak Erika,” desah Andar sambil tertunduk.
Wanita itu berbalik dan mengamatinya. Erika mengamati kedua pemuda yang ada di hadapannya itu. Terutama yang membawa gitar, yang barusan menggumamkan namanya.
“Ya Tuhan!” pekiknya. “Ibu… Ibu… keluar, Bu!”
“Ada apa?” teriak si ibu berjalan keluar rumah.
“Cepat, Bu… ke sini, cepat!”
“Ada apa, sih Erika? Kau, kan tau Ibu sedang sibuk mengurus semua pekerjaan Ibu. Ada apa?”
“Coba, Ibu… lihat siapa yang datang!”
Si ibu mengarahkan pandangannya ke arah kedua anak muda itu.
“A… Andar?!” pekiknya.
Seorang yang bernama Erika menangis haru sambil memeluk Andar. Sedangkan si ibu masih berdiri menatap nanar ke arah Andar berdiri.
Ketahuilah… bahwasannya Erika adalah kakak kandung Andar. Dan perempuan itu adalah ibu kandungnya. Demasa SMP, ayah dan ibunya bercerai dan ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita yang saat ini tinggal 1 rumah dengannya. Bedanya… Erika sekarang ikut ibunya, sedangkan dirinya dan kak Radit tinggal bersama ayah dan ibu tirinya.
Untuk beberapa saat, suasana ruang tamu itu jadi hening. Mereka berempt (ibu, Erika, Andar dan Ahmad) hanya diam. Ini juga pertama kalinya Ahmad tau bahwa Andar selama ini hidup dalam keluarga yang gak utuh.
“Kalian sudah makan?” Tanya Erika penuh kasih. “Pasti belum, ya? Tunggu di sini, biar aku buatkan kalian makanan!”
Erika menuju ke dapur dan tinggallah mereka bertiga. Tapi suasana masih tetap hening. Merasa gak enak, cepat-cepat Ahmad keluar dan duduk kursi depan. Dia piker, mungkin Andar membutuhkan waktu untuk bicara brdua dengan ibu kandungnya. Meski ditinggalkan Ahmad, anak dan ibu masih tetap tak bergeming. Andar masih tetap tertunduk. Sedangkan si ibu menatapnya dengan tatapan dingin dan hampa.
“Bagaimana keadaan di rumah?”
“Baik,” jawab Andar sekenanya.
“Radit… bagaimana keadaannya?”
“Kak Radit…”
Tak diteruskan kata-katanya. Timbul rasa takut yang luar biasa untuk menceritakan semua keadaan kakaknya pada si ibu.
“Apa yang terjadi?” Tanya si ibu. “Dia tak berulah, kan?”
Andar masih tetap menunduk diam.
“Apa kakakmu itu bermasalah? Jawab Ibu, Ndar!”
“Kak Radit...,” ucapnya terbata. “Kak Radit pergi dari rumah dan sekarang ada di kantor polisi, nabrak orang.”
“Ya, Tuhan…!”
Betapa shock si ibu begitu mendengar kata-kata anaknya itu. Dan air mata yang sedari tadi ditahan Andar kuat-kuat di pelupuk matanya, akhirnya pecah dan ngalir.
“Kau lihat… semua ini gara-gara ayahmu!” kata si ibu beremosi. Dari dulu dia selalu mementingkan diri sendiri dan pekerjaannya. Tak pernah sedikitpun pedulikan keluarga dan anak-anaknya. Sekarang apa hasilnya? Radit benar-benar jadi rusak. Dan kau juga sama saja, sangat susah untuk diatur, Ah, Ya Tuhan… kenapa anak-anakku jadi seperti ini semua?!” perempuan itu pun mulai terisak.
“Ibu…!” desis Andar.
“Kau juga sudah mulai merokok, minum-minum… kau mau jadi apa, hah?!” pekik ibunya geram. “Sekarang lebih baik kau pulang… kau pulang ke rumah ayahmu!”
“Tapi, Bu…”
“Cepat kau pulang!” teriak si ibu.
Dengan air mata yang terus berlinangan, Andar melangkah meninggalkan rumah itu, Ahmad pun mengiringinya dengan perasaan iba. Tak pernah sedikitpun terlintas dalam benaknya kalo kehidupan sahabatnya akan seperti ini.
“Andar mana, Bu?” tanya Erika yang terkujut melihat adiknya itu udah gak ada.
Si ibu hanya menangis tak menjawab. Melihat ekspresi ibunya itu, Erika cepat-cepat berlari dengan memanggil-manggil nama adiknya itu. Tapi Andar sudah lebih cepat melangkahkan kaki bersama kekecewaannya.
“Sudah, jangan minum lagi! Nanti kau mabok!”
Miras…! Dia berlari ke situ. Sebotol miras diteguknya. Ahg… apa yang bisa dolakukan Ahmad? Dia hanya bisa mengiringi langkah Andar agar tak sampe’ kenapa-napa!
“Sudahlah, Ndar berhenti… jangan minum lagi!”
“Biar!” tolaknya mulai mabok. “Semuanya sama aja. Mereka egois… Mereka ngebuat hidupku berantakan! Mereka kejaaam!”
Siapa yang menyangka kalo Andar bisa sebegitu rumit kehidupannya.
Dan hari ini adalah hari Sabtu! Dan aku sangat suka hari Sabtu. Tau kenapa? Karena ada pelajaran olahraga. Siapa, sih yang gak suka pelajaran yang riang gembira kayak gini? He… he… he…
“Hei… tangkap bolanya!”
“Ayo… smash!”
“Hore…!”
Dimana-mana, segala hal yang menyenangkan itu selalu berakhir cuuuepet banget. Ya… kayak pelajaran olahraga ini. Cepet banget! Dua jam serasa dua detik (lebaih, Brow).
“Wah, udah selese, ya? Padahal aku baru mau ikutan maen voly. He… he… he…”
Hah!!! Siapa yang kaget kalo si Andar ini gak pernah ikut pelajaran olahraga? Nih anak emang gak pernah nongolin batang hidungnya di lapangan olahraga. Cuma orang eror yang gak suka pelajaran olahraga (termasuk dia).
“Darimana saja, kau?” tanyaku. “Napa, sih kau gak pernah ikut pelajaran olahraga?”
“Pelajarannya gak menarik, makanya aku pergi dari kelas! He… he… he…”
“Setiap pelajaran buatmu emang gak ada yang menarik. Buktinya kau selalu nongkrong di kantin pada saat semua jam pelajaran, kecuali saat ulangan,” ucapku berceloteh. “Dan beruntungnya, buuuanyak banget cewek-cewek yang mau ja kau suruh-suruh buat ngerjain semua tugas-tugasmu, heran!”
“Ya soalnya mereka semua itu sayang padaku, Rhes! He… he… he…”
“GR banget, loe!” kataku sebel. Tapi tuh anak cengar-cengir aja.
“Kalo saja aku bisa sebebas dirimu dan punya organ tubuh yang normal, aku gak akan pernah nyia-nyiain pelajaran olahraga.”
“Maksudmu?”
“Bukan apa-apa,” tukasnya cepat. “Udah, sekarang kau kerjain ja PRmu, ntar aku nyontek, oke!”
“Malezzz, dech!” cibirku.
Hiks… hiks… hiks…
“Mey…?” desisku.
Memey merangkulku dengan tiba-tiba. Dia menangis tersedu-sedu. Nih, anak kenapa? Tiba-tiba nangis gak jelas kayak gini. Aku Tanya kenapa, tapi dia malah terus nangts dan gak mau jawab.
“Kamu napa, sih? Ceritakan padaku!”
Disapu air mata yang ngalir di pipi putihnya itu. Matanya terlihat merah dan sembab. Suaranya pun terbata karena terisak.
“Andar, Rhes…!” desisnya sambil terus nangis. “Padahal kemarin udah bilang kami berdua udah jadian, tapi tadi aku ngeliat dia pulang sama Mita, Rhes! Hu… hu… hu…,” tangisnya.
Emangnya aku musti bilang apalagi? Andar, kan emang deket sama Mita, vokalis bandnya itu. Aku juga udah bilang ke Mey agar dia gak percaya dengan rayuannya si Andar, Tapi yang namanya si Mey udah suka… Cinta, kan gak ada tokonya, ya?!
“Sudahlah, gak usah dikejar-kejar lagi! Kamu bisa dapetin yang jauh lebih segalanya dari si gila itu,” kataku kesal.
“Tapi aku cinta dia, Rhes… dari awal bertemu!”
Haduuuh… PUSIIING!
“Oke, tenang… jangan nangis lagi!” hiburku. “Ntar akan aku coba buat bicara ke Andar! Tenang, ya!”
“Terima kasih, Rhes… kau memang sahabat terbaikku,” ucapnya sambil merangkulku,
Dia berharap banyak padaku. Tapi aku… apa yang bisa ku perbuat? Sedangkan sudah terang-terangan Andar katakan padaku kalo dia tak menyukai Memey. Andar gak sedikitpun mau meliriknya, padahal udah sering kupaksa-paksa.
Dan esok harinya… harusnya menjadi hari yang sangat membahagiakan buatku, tapi ternyata…ENGGAK!!!
Dengan wajah yang amat muram, Memey berdiri di depan pintu kelas dan menghadang kedatanganku.
“Aku kira semua yang aku dengar dan aku lihat selama ini adalah fitnah, ternyata enggak! Ternyata semua yang aku dengar emang bener! Nih, baca!”
Mey melemparkan gulungn kertas yang tampak kusut kepadaku, tampaknya habis diremas-remas. Itu adalah sebuah puisi yang berjudul *BIDADARIKU*. Aku masih mengamati kertas itu dan Mey ngebentak…
“Ini puisi yang ditulis Andar untukmu… Untukmu, Rhes!”
“Apa?!” pekikku. Sekarang aku ngerti kenapa dia begitu marah.
“Aku gak nyangka kau bisa nikam aku dari belakang? Kau keterlaluan, Rhes! Minggir…!”
“Tapi, Mey…!”
Dia berlalu pergi dengan kemarahannya. Dan aku… I DON’T KNOW EVERYTHING! Entah apa yang terjadi… aku sama sekali gak jelas duduk perkaranya. Cepat-cepat aku mencari Andar. Dan aku menemukannya di ruang seni sedang bersama Ahmad.
“Dasar kurang ajar!” geramku dengan menariknya dari tempat ia duduk. “Sebenernya yang ada di otakmu itu apa? Dasar kau gila!”
“I… Ini… Ini kenapa, sih? Kau itu kenapa? Datang-datang… marah-marah gak jelas githo!” ucapnya bingung.
“Ini… jelaskan padaku apa maksudmu nempel-nempel ni puisi di mading kelas!Jelasin!”
Andar meraih kertas itu dari tanganku, lalu dia tersenyum dan bicara dengan tenang.
“Ya ampun, Rhes hari ini, kan kau ulang tahun, kau lupa? Itu kado untukmu. He… he… he…”
“Haduh… gila kau, ya?!” sergahku. “Kau tau tidak, gara-gara kegilaanmu ini, Memey jadi marah besar ma aku dan dia nyangka yang enggak-enggak! Sialan kau!”
“Memey…? Apa hubungannya?!”
“Haduh, kau ini!” pengen jitak aja. “Kau lupa, kemarin kau udah iyain permintaannya buat jadi pacarmu, kan? Terus kau malah jalan ma Mita, sekarang pake’ acara nempel puisi segala. Heh… jangan permaenin sahabat aku, ya!”
“Rhes, aku udah bilang, kan? Aku iyain si Mey karena aku gak tega liat dia nangis-nangis terus. Dan puisi itu emang kado buatmu.”
Andar jadi ikutan beremosi, Dan Ahmad cuma diem ngeliatin perdebatan kami.
“Ya udah… sekarang maumu apa?” Tanya Andar yang udah lebih tenang. “Kau ingin aku jalan ma Memey beneran, kan? Oke… akan aku turuti maumu. Besok… kau akan ngeliatku ada di sampingnya. Tapi ingat… aku emang akan membuatnya tertawa, membuatnya jatuh cinta… dan aku akan mencampakkannya. Dia akan sakit hati dan pasti akan membenciku. Rencana yang bagus, kan? Tunggu saja permainan yang aku sutradarai, Pren! Permisi…!”
Ya Tuhan… bukan seperti ini yang aku harapkan. Sekarang bagaimana nasib si Mey?! Dan esok harinya… Andar bener-bener ngebukti’in ucapannya padaku kemarin. Aku melihat, bangku si Mey sudah berpindah ke bangku di samping Andar. Tuhan… aku benar-benar membuat segalanya jadi tambah rumit. Aku musti bagaimana? Apa aku musti nyeritain semua rencana Andar ke Mey? Tapi Mey tampak begitu bahagia? Ntar jika aku bilang semuanya… apa Mey malah gak negative thinking ke aku?! Haduuuh… pusing!
“Kau tega liat dia nangis?” Tanya Andar ke aku. “Udahlah, biarkan aku ngebuatnya senebg biarpun itu cuma bentar! Oke, Rhes?!”
Aku bener-bener dibuatnya gak berkutik. Aku bener-bener diam!
Dengan kejadian ini aku bener-bener benci sama Andar. Aku berpikir bahwa dia bener-bener jahat. Aku gak akan memaafkannya jika si Mey sampe’ nangis.
“Ha… ha… ha…”
“Kok Mbak Yani malah tertawa, sih?”
Kakak kelasku yang udah kayak Mbak sendiri, yaitu Mbak Yani, mengalami kecelakaan. Dan aku menengoknya. Aku pun menceritakan semua yang kuhadapi soal Andar kepadanya. Tapi dia malah tertawa terbahak-bahak.
“Maaf, Rhes… Maaf!” katanya lagi-lagi sambil tertawa. “Lucu, sih… baru kali ini aku dengar si Andar nulis puisi buat cewek! Ha… ha… ha…”
“Itu gak lucu sama sekali, Mbak!” ucapku kesal. “Andar emang githo, hobi banget ngebuat cewek-cewek GR.”
“Ya… terus sekarang?”
“Aku benci Andar!”
Mbak Yani menatapku, kemudian beranhak menuju kamarnya. Dia kembali dengan membawa sebuah foto. Diberikannya kepadaku. Seorang gadis berambut panjang. Cantik… bahkan sangat cantik.
“Ini siapa?” tanyaku sambil mengamati foto itu.
“Namanya Denada Ayu. Dia temenku. Tapi setelah lulus MTS, kami tak lagi 1 sekolah. Bentar, ya aku ambilin minum dulu!”
Apa gadis ini ada hubungannya dengan Andar? Rasa penasaranku meluap-luap. Saat Mbak Yani kembali lagi dengan membawa 2 gelas teh, aku lekas menanyakannya.
“Apa gadis ini ada hubungannya dengan Andar?”
Mbak Yani hanya tersenyum mendengar pertayaanku dan malah balik bertanya,
“Apa kau pikir Andar itu sangat buruk perangainya, Rhes?” dia tersenyum. “Aku mengenalnya 4 tahun yang lalu. Dia murid pindahan di sekolahku. Saat itu, dia bener-bener culun. Dia rajin mendatangi musholla. Dia dulu juga cakep, imut-imut dan rajin banget. Pokoknya… baik, deh!”
“Andar?!” tanyaku gak percaya dan Mbak Yani mengangguk.
“Dia menyukai kakak kelasnya, tapi ditolak. Dengan alas an, dia hanya anak kecil, culun dan gak sangar.”
“Gadis ini?” tanyaku sambil memperlihatkan foto itu.
“Iya, dia!” jawab Mbak Yani.
“Apa karena hal ini Andar jadi perokok dan peminum? Dia bener-bener bodoh!”
“Bukan!” sela Mbak Yani. “Orang tuanya bercerai dan ayahnya menikah lagi. Keluarganya jadi berantakan. Hal itulah yang menyebabkannya jadi seperti itu. Dan lucunya… Denada malah tertarik dengan Andar. Dan gentian, Andar menolaknya mentah-mentah. Sejak itu dia berprinsip kalo wanita itu *Mati 1 Tumbuh 1000*. Kau ngerti, kan sekarang?”
“Terus… ibu yang ada di rumahnya itu?”
“Itu ibu tirinya,” jawab Mbak Yani. “Baru-baru ini aku dengar kakaknya masuk penjara karena nyetir dalam keadaan mabok dan nabrak orang.”
Aku gak pernah tau kalo kehidupannya akan begitu rumit. Aku masih tetap terdiam, tak mengerti dengan segala keadaan ini. Aku hampir gak bisa mempercayainya.
“Dia jarang, Rhes bersahabat dengan seorang cewek,” ucap Mbak Yani membuyarkan lamunanku. “Soalnya tiap cewek yang liat dia atau kena rayuannyam pasti langsung nempel. Kalo dia bisa percaya padamu, kau harus bantu dia untuk keluar dari permasalahannya ini. Dengar, Rhes…,” Mbak Yani menaruh tangannya di bahuku, Kali ini nada bicara dan ekspresinya terlihat lebih serius.
“Andar… bukanlah seorang yang gak baek. Dia… Dia hanya butuh bantuan untuk bisa kembali ke jalan awalnya. Dia seorang yang cinta masjid pada awalnya. Dan aku yakin… dalam hatinya masih seperti itu.”
Hidup itu adalah Dusta…
Ya… aku melihat semuanya di sini. Sejak aku mendengar cerita Mbak Yani, aku gak bisa sedikitpun melepaskan mataku dari Andar. Dia emang tertawa… Tapi matanya… Selama ini aku gak bisa melihat, betapa banyak kesedihan dan air mata yang netes dari mata itu? Bahkan aku sempat menemukannya menangis. Di dalam ruang seni yang sempit itu, dikelilingi alat band itu… dia memetik gitarnya dan melantunkan sebuah lagu dengan lirik…
#CINTA… CINTA… CINTA…
AKU… JATUH… CINTA…
DAN SETERUSNYA RASA ITU SLALU
TERJADI DAN TAK PERNAH BERKURANG…
HATIKU HANYA UNTUK DIRIMU
AKU BAHAGIA HANYA JIKA KAMU BAHAGIA…
O… HO… BAHAGIA… HO… #
Lirik lagu itu terdengar semakin menyayat dengan diiringi suara gitar yang berdenting perlahan. Aku sama sekali gak berani mendekat. Baru kali ini aku melihat air mata menetes dari mata seorang laki-laki. Aku sampe’ gak percaya bahwa yang aku liat saat ini adalah Andar si Playboy itu.
“Rhe…!”
Panggilan itu ngebuat aku terhenyak dan aku mulai gugup.
“Kau kenapa?” Tanya Andar yang melihatku tampak kikuk.
“Ti… Tidak… Tidak ada,” jawabku gugup.
Andar masih menata[ku dengan pandagan penuh curiga. Tapi lekas aku menyibukkan diriku dengan membolak-balik buku yang kebetulan aku bawa.
“Kau belum pulang?” Tanya Andar. “Nungguin Apin, ya?”
Dan aku hanya mengangguk untuk ngejawab pertanyaannya.
“Kalo githo… aku duluan, ya!” ucapnya sambil beranjak pergi.
Mataku masih mengikuti arah kepergiaannya. Ingin sekali rasanya saat itu aku minta maaf larena sudah memaksanya ngejalani hubungan ma Memey… tapi lidahku rasanya keluh.
“Oh iya, Rhes…!”
Tuh anak berhenti berjalan dan membalikkan badan menghadapku.
“Hari ini… eh, mala mini aku akan keluar dengan Memey. Aku tak bisa menjamin keselamatannya, Rhes… karena dia sendiri yang ngajak keluar, bukan aku! Kau pasti sangat snang, kan?”
Dan dia pun berlalu pergi.
Sore ini perasaanku bener-bener terganggu. Apalagi jika aku ingat perkataan dan rencana Andar yang akan keluar ma Memey. Tuh anak stress bisa berbuat di kuar dugaan. Ya ampun… kalo sampe’ tuh anak ngapa-ngapain si Mey… Haduh bisa gawat!
“Gak bisa…!” gumamku. “Aku harus cegah semuanya! Si Mey gak boleh ada bersama Andar malam ini!”
Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambil motorku dan melaju kea rah rumahnya si Mey. Tapi sialnya, mereka udah pergi. Ah, Sial…! Sekarang musti gimana? Aku tetap berputar-putar di setiap tempat yang mungkin akan mereka datangi, tapi hasilnya NIHIL…! Aku hamper frustasi… aku gak ingin dengar kabar buruk yang mungkin akan disampaikan Memey padaku besok… ENGGAK!!!
Akhirnya aku kembali pulang. Aku menuju ke rumah Kak Apin, kebetulan semua keluarga lagi ngumpul di situ.
“Darimana saja kamu?” Tanya Kak Apin yang melihatku datang. “Naik ke lantai 2 sana, ada yang menunggumu.”
“Menungguku? Siapa?”
“Gak bisa kasih info, aku lagi sibuk!” jawabmnya cuek.
Aku pun naik ke lantai 2, Aku melongokkan ke[alaku lewat sela pintu, tapi gak terlihat ada siapapun. Saat aku hendak kembali,
“Kau mau kemana, Nona Jutek?”
“Hah?!” pekikku. “Kau…? Kau… sedang apa kau di sini?”
“Ha… ha… ha…!”
Gak malah jawab pertanyaanku, tuh anak malah cengar-cengir.
“Terus… terus Memey… Memey?”
“Tenang aja, dia baek-baek aja, kok!”
“Heh… jangan macam-macam!” gertakku. “Dimana Memey sekarang?!”
“Oke… oke… tenang! Dia sekarang lagi sama Ahmad.”
“Ahmad? Kok bisa? Bukannya…!”
Andar masih tetap cengar-cengir dan ngebiarin aku pusing. Apa maksudnya coba si Andar pake’ bawa-bawa nama Si Ahmad?
“Rhes, kalo aku mau, aku bisa lakuin apapun ke temanmu tu. Tapi enggak. Lagian si Ahmad itu cinta banget ma tuh anak. Nah… kan lebih aek dia sama Ahmad daripada sama aku, ntar malah dia sakit hati, Mungkin Ahmad akan jauh lebih bisa nyenengin dia! Sante aja… aku yang jamin, kok!”
“Terus rencanamu yang ingin nyakitin hatinya dia gimana?”
“Ha… ha… ha… Kau pikir aku akan serius melakukannya? Ya ampun, Rhes aku gak akan setega itu. Kau ini…!”
“Kurang ajar! Berarti kau sengaja ngerjain aku, donk!” ucapku kesal.
Sorry, deh…! He… he… he… Ayolah, maafin aku! Kita, kan PREN!” ujarnya sembari tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku.
Aku pun tersenyum, menjabat tangannya dan berucap,
“Ya… kiti, kan PREN! He… he… he…!”
Permasalahan dengan Memey udah berlalu. Si Mey emang sedang deket ma Ahmad tapi tetep aja hatinya Cuma untuk Andar. Tapi ngejarnya gak se[arah dulu lagi. Lagian gossip soal Andar ma Mita udah center terdengar di seluruh penjuru skul.
“Apa ini?!”
Aku terpekik saat aku melihat amplop pink dalam loker mejaku. Siapa yang naruh? Aku amati sekeliling. Tapi tampak temen-temen sekelas tam[ak beraktivitas seperti biasa dan gak ada yang mencurigakan. Perlahan, aku membuka surat itu dengan deg-degan! He… he… he…
*DEAR MBAK RHESA
Q KIRIM SEPUCUK SURAT BRAMPLOP PINK NI UTK MBK YG PLG MANIEZ!
AQ HNY PENGAGUMMU DR JAUH&MBK GAK PRLU TW CPA AQ SBNERNYA.
EMG NI GAK SOPAN… TP HNY WRNA PINK YG TRLHAT MANIZ YG CO2K UTK MEWAKLI [RSAANQ KPD MBK YG BEGTU MANIZ&ANGGUN DGN KACAMTA UNGUNYA.
SALAM MANIZ
SECRET ADMIRE*
Aku tertawa terbahak-bahak membaca surat itu.
“Sinting!” gumamku.
Dan malam harinya, aku menerima SMS dari nomor yang asing buatku.
“Q KRIM BNGA CNTIK UTK MBK YG PLING MANIZ.”
Sperti biasa, aku langsung ngehapusnya. Mungkin ni hanya kerjaan orang iseng yang kurang kerjaan.
“MBK, AQ ADLH ORG YG NGRIM SRAT DI LOKER, MBK!”
Mau tak mau, aku respon juga tuh nomor. Bagaimana tidak? Wong dia bawa-bawa surat rahasia yang aku temuin dalam loker mejaku itu.
“KM CP?” Tanyaku.
“AQ 1 SCOL MA, MBK. TP MBK GAK NGENALIN AQ. KALO MBK IGN TW AQ, BSOK AQ PAKE’ JAKET MRWH SAAT KE SCOL. Q HRAP, MBK LGSUG TW TU ADLH AQ!”
Gak mungkir, aku penasaran juga dengan penggemar rahasiaku itu. He… he… he… Aku duduk di depan kelas. Saat itu emang habis semester, jadi gak dapet peelajaran. Tapi perasaan, buuuanyak banget yang pake’ jaket warna merah.
“Bahkan Kak Apin pun pake’ jaket merah,” gumamku. “Ah, buang-buang waktu aja. Masa’ bodoh dengan orang-orang iseng!”
Aku mulai bosan dan melangkahkan kakiku ke dalam kelas. Aku menghampiri Nina yang lagi asyik dengan lagu-lagu di HPnya.
“Eh, lihat tuh, Rhes… ada yang manggil-manggil kamu!” ucap Nina tiba-tiba.
“Siapa?”
“Itu di lantai 2!” katanya sambil menunjuk ke tangga.
Seorang anak lelaki berjaket merah melambaikan tangannya kepadaku.
“Itu, kan Aldo!” bisikku dalam hati. “Jaket merah? Jangan-jangan… Ya ampun! Bronis, donk? Capek, deh!”
Emang bener dugaanku. Secret Admireku itu emang Aldo. Anak kelas X yang kelasnya ada di atas kelasku. Ya ampun… kenapa anak kecil? Gak ada hasilnya, donk aku GR? DDia sering SMS aku dan ngomong aneh-aneh. Jarang banget aku ngebalez SMSnya. Paling kalo lagi dapet bonusan baru aku ladeni. Nih anak ngebuat aku susah aja!
“Apa? Jadi dia itu si Aldo?! Ha… ha… ha… Lucu, Rhes!”
“Kurang ajar, kau!”
Dan Andar malah ngeledekin aku. Siaaal… gak ada gunanya aku ke-GR-an.
“Terus sekarang kamu gimana?”
“Aku? Ya tentu aja aku pengen terlepas darinya,” kataku kesal. “Emangnya aku udah gila suka sama adek kelas? Eror!”
“Bronis, lho…! Ha… ha… ha…”
“Sudah… Diaaam…!”
Aku makin kesal, apalagi si Andar malah tertawa kegirangan kayak githo! Resek…!
“Tapi anak itu playboy, lho, Rhes!” kata Andar memperingatkan. “Dulu aku punya mantan pacar yang 1 sekolah dengannya. Dan banyak juga info yang aku dengar tentangnya. Hati-hati aja! Ha… ha… ha…! Ah, tapi hal itu gak berpengaruh kepadamu, kan?”
“Kok gak ngaruh?” tanyaku heran.
“Ya iyalah… mana ada, sih cowok yang bisa ngehancurin kejutekanmu itu? Ha… ha… ha…”
“Mati aja Loe!”
“He.. he.. he.. Oh iya, Rhes… bentar lagi ada seleksi PASKIBRA. Kau gak ikut? Aku, Boy dan Fauzi udah niat daftar. Alfi, Siska dan Iren juga ikut.”
“Emang aku bisa keterima? Aku, kan gak tinggi-tinggi amat, gendut lagi! PBB juga gak begitu bisa,” jawabku lusuh.
“Santai… yang penting nyoba! Ayo kita daftar!”
Akhirnya… Aku, Andar, Boy, Fauzi, Alfi, Siska dan Iren mengikuti seleksi PASKIBRAKA di Kecamatan dan Kabupaten.
Yang paling seru itu saat kami ikut seleksi di Kabupaten. Bayangin aja…! Andar dan Fauzi yang di skul termasuk taraf anak tinggi, sekarang bagai masuk dunia liliput. He… he… he… Semua peserta yang ikut seleksi berbadan tinggi tegap. Sedangkan kami…? Capek, deh…! Pada seleksi tahap pertama, kami disuruh ngulkur tinggi badan dan nimbang berat badan.
“Aku lolos!” teriak Fauzi senang.
“Kita bertiga? Cuma kita bertiga?” Tanya Alfi terkejut.
“Itu juga dengan tinggi ngepas!” lanjut Iren. “Kau gimana, Ndar?”
“Gak nyampe’,” jawab Andar lemas.
“Aku juga gak nyampe’,” lanjut Boy. “Padahal kurang sedikit.”
“Nasib kita buruk,” lanjut Siska.
Semuanya terdiam dan melirikku.
“Sudah jangan ngejek. Kalo kalian aja gak masuk, gimana aku bisa masuk?” gerutuku.
“Ha… ha… ha…”
Ya itu hal yang biasa banget kalo aku gak lolos. Di antara temen-temn yang laen, tinggi badanku yang paling pendek. Kalo Siska aj gak keterima, gimana aku bisa keterima? Wong secara… Siska jauh lebih tinggi dariku. Tapi setidaknya Alfi, Iren dan Fauzi bisa lolos ke tahap ke-2. Mereka musti diuji gerakan PBBnya. Dan yang berhasil melewati seluruh selksi dan keterima dalam PASKIBRAKA Kabupaten Cuma Alfi aja. Dan kami berenam keterima di PASKIBRAKA Kecamatan. Itu aja udah syukur Alhamdulillah!
“Eh, si Aldo jadi DANTONnya, Rhes! He… he… he…”
Di sini aku bener-benr musti tahan mntal. Bagaimana tidak? Aku udah diosipin habis-habisan sama si Aldo. Ya ampuuun…! Sejak kami sama-sama di PASKIB, Aldo terus SMS aku. Dan aku bener-bener risih. Gimana agar aku gak nyakitin dia meski aku nolak?
“Gak bisa dicoba?” Tanya Alfi. Tentu saja Alfi membelanya. Secara… dia, kan pacaran sama kakaknya tuh anak.
“Dia adek kelas, kau ingat, kan? Dan lagi… aku gak bisa memaksa diriku untuk suka ma dia. Mendingan gak!” tolakku.
Sampe’ pada satu malam… saat itu pengurus OSIS cowok sedang pada ngumpul di skul dan tidur di sana untuk mempersiapkan sebuah kegiatan. Kebetulan Aldo adalah pengurus OSIS yang baru, jadi dia ikutan nginep juga. Langsung aja Andar, Boy, Ahmad dan Fauzi ngintrogasi tuh anak.
“SMSan sama siapa Loe?” Tanya Boy yang gayanya selalu sok kekota-kotaan.
“Ini Mbak Rhesa,” jawab Aldo.
“Serius Loe suka ma dia?” Tanya Boy menyelidiki.
“Dia, kan jutek banget ma cowok. Masa’ kamu mau?” timpal Fauzi. “Kau, kan bisa dapet yang jauh lebih cantik dari dia… temen-temenmu misalnya? Kenapa kau malah milih dia?”
“Oh… itu! He… he… he…,” kata Aldo meringis. “Itu kerena perjanjian.”
“Perjanjian?!”
Andar langsung menatap Ahmad yang lagi berbaring merangkul gitar.
“Maksudmu dengan perjanjian apa?” Tanya Fauzi.
Akhirnya, mereka berhasil membuat Aldo buka mulut.
“Aku emang sudah sering denger cerita soal Mbak Rhesa dari mereka-mereka yang skul di sini. Katanya dia cewek tomboy berjilbab dan jutek abiz ma cowok. Dia paling susah dideketin. Lha teruz… si Rudi ngajak aku taruhan.”
“Taruhan?”
“Iya,” jawab Aldo tenang. “Kalo aku bisa nakkhlukin Mbak Rhesa, aku akan dapetin apapun yang aku mau darinya. Begitu!”
“Terus… kau berhasil dapetin dia?” Tanya Boy.
“Udah hamper 2 bulan dan nihil,” jawab Aldo. “Ini adalah minggu terakhir perjanjian kami, kalo aku gagal… aku yang musti nurutin apapun maunya.”
“Kau sudah gila!” celetuk Boy.
“Hentikan rencanamu dan minta maaf padanya!” kata Fauzi.
“Sebenernya aku juga gak niat kayak gini,” kata Aldo. “Awalny, aku emang tertariik beneran ma Mbak Rhesa. Kalo diajak curhat enak. Tapi taruhan ini boleh juga. Di samping aku bisa ngedapetin cewek yang aku suka, aku juga akan dapet buuuanyak banget doorprize dari Rudi. He… he… he…”
“Bila pinjam HPmu?” Tanya Andar pada Aldo. “Jam segini dipake’ telephon gratis, kan?”
Andar keluar dari ruangan itu dan nelphon aku. Ya tentu aja gak dapet-dapet jawaban, wong secara aku udah tidur. Lamaaa banget baru aku respon.
“Halo… siapa?” ucapku sambil setengah terbangun.
“Hei, Bodoh… cepat bangun!” bentaknya.
“Andar?!” pekikku. “Ini, kan nomornya Aldo.”
“Bangun dan dengarkan kata-kataku, cepat!”
Suara terdengar tegas. Dan aku mendengar semuanya. Tentu bisa bayangin, kana pa yang dikatakan Andar padaku? Yup’z… Dan aku sangat shock!
Dan esok harinya…
“Pagi, Mbak Rhes,” sapa Aldo padaku.
Kebetulan aku lagi nerjalan barengan ma Andar ke ruang OSIS. Aku dan Andar saling bertatapan. Dia mengedipkan mata, seolah mengisyaratkan agar aku segera bertindak. Tentu saja saat itu marahku udah gak tertahan, tapi masih sangat brusaha untuk SABAR… SABAR… SABAR…!
“Ada seorang yang ingin bertemu denganmu, Do!” kataku kemudian. “Sini kau!” panggilku kepada Rudi.
“Ada apa, Mbak?” tanya Aldo.
Rudi hanya tertunduk. Ya jelaslah… secara aku tadi udah ngelabraknya duluan. Terlihat kebingungan dari mimic wajah Aldo. Andar hanya tersenyum-senyum saja. Dan aku… haduh, rasanya mau meledak!
“Ada apa se, Mbak Rhes?”
“Gak usah panggil Mbak-Mbak!” bentakku. “Kurang ajar banget se jadi orang.”
“Lho, emangnya kenapa? Aku jadi bingung!”
“Bingung, ya?!” ucapku ngeledek. “Benturin aja tuh kepala ke tembok! Sekalian… semua rencana gilamu! Kau pikir bisa dengan mudah mempermainkan Rhesa ZahranimIhsanah? Jangan mimpi, Adek Kecil!”
“Aku bener-bener gak ngerti maksudnya apa?” ucap Aldo bingung.
“Kau dan si stress ini,” ucapku sambil menunjuk Rudi. “Berniat jadiin aku taruhan, kan? Haduh… sebelum mempermainkan orang, lihat-lihat dulu siapa orangnya! Kau masih terlalu dini untuk bisa membodohiku, Anak Kecil!”
Dan aku berlalu pergi…!
Tuh anak berusaha ngekelasin semuanya ke aku, tapi aku gak mau ngurus. Bodoh amat…! Mau bilang itu rencana Rudi kek… Mau dia bilang dipaksa Rudi kek… Gak ngurus…! Masa’ bodoh, yang jelas…
“Aku benci…! Semua cowok sama aja!” teriakku.
“Gak semuanya tau!” sangkal Andar.
“Alaaah… buktinya githo! Gak salah jika aku memutuskan gak mau pacaran. Semuanya… gak ada yang bisa suka secara serius! Nyebelun…!”
“Yeee… kok jadi marah-marah ke aku, sih?! Sebenernya yang kayak anak kecil itu kau, bukan Aldo! Ah… emang susah bicara sama orang yang gak pernah jatuh cinta. Gimana juga, yang namanya cinta itu beda sama suka, Rhes. Suka itu ada batasnya… tapi yang namanya cinta itu gak ada batasnya.”
“Kau itu ngomong apa?”
“Ya dalam artian, kalo kita-kita ini bukanlah cinta, tapi Cuma sekedar rasa kagum atau saka aja.”
“Yang namanya suka yang disebut cinta itu gimana?” tanyaku yang tiba-tiba ingin tau.
Andar tersenyum mendengar pertanyaanku dan mulai berpikir untuk ngejawab pertanyaanku.
“Ntar kalo kamu udah jatuh cinta beneran kamu akan nyadar sendiri,” ujarnya sambil tersenyum.
“Cara mengetahui kalo saat itu aku sedang jatuh cinta apa?”
“Ah dasar kau tolol!” ucapnya sambil menjitak kepalaku. “Aku juga gak begitu tau, tapi katanya, sih ntar seorang itu akan ngebuat kamu tersenyum gak berhenti-berhenti saat kamu ingat dan liat dia. Seorang yang akan selalu muncul dalam benakmu di setiap detik kau bernapas. Ah, entahla, Rhes… aku juga bingung cara ngejelasinnya. Pokokny ntar seorang itu akan selalu ngebuatmu menangis dan tertawa. Begitu…!”
Wes… ntah maksud kata-kata Andar yang waktu itu apa, sampe’ sekarang aku gak pernah mau ngerti.
Pokoknya sejak kejadian bersama Aldo saat itu, aku bener-bener antisipasi dengan para cowok. Pokoknya saat ni aku lagi pegang prinsip… *CINTA ITU SEPERTI KEIKHLASAN SEBUAH SENYUMAN*(^,^)
Dan di kelas XI ini, aku lebih banyak disibukkan dengan dengar beragai kegiatan OSIS. Kadang aku malah pulang soreee banget. Dan jarang banget bisa konsen belajar.
“Coba kau lihat dia, Rhes!” kata Andar padaku dengan menunjuk seorang adek kelas yang bernama Novi. “Dia cantik, kan?”
“Naksir?”
Si Andar malah nyengir.
“Terus, Mita dan Mbak Tanti mau kau kemana’in, Dodol?” umpatku geram.
Sambil tertawa lebar dia berkata,
“Wes ta… pokoknya kau musti bantuin aku buat ngedapeti dia, oke? Ayolah, Rhes… kita, kan Pren?”
Mau tau gak soal Mbak Tanti? Dia adalah alumni extra seni yang berhasil dirayu si Andar sampe’ mereka backstreet dari cowoknya Mbak Tanti. Dan yang paling nyebelin, Mbak Tanti itu tetanggaku dan musti aku, deh yang jadi jalur perhubunh=gan mereka. Jalan TOL kaleee…! Dan si Mita… sempet, se tuh cewek protes dengan kedekatan Andar dan Mbak Tanti. Tapi denga sedikit rayuan, beres semuanya! Ya ampun… semoga saja tuh anak itu lekas sadar!
*Kegiatan Terakhirku Bersama PRENQ*
Mungkin lebih tepat jika aku beri judul seperti ini untuk setiap kegiatan yang kulalui bersama-sama dengan Andar di bula Agustus ini.
Akhir Agustus, kami mengikuti LDKS Pengurus OSIS ke Sumber Wekas Prigen, Pasuruan.
Kali ini kami (anak kelas XI) menjadi kakak yang bertanggungjawab buat adek-adek kelas X. Wah… tanggungjawab kami lebih besar kali ini. Tapi jangan salah, Andar begitu menikmati perjalanan kali ini. Bayangin aja, dia lho udah berhasil ngedapeti Novi. Kebetulan tuh anak juga ikutan OSIS.
“Nih… ada titipan surat gari Mbak Tanti buat Mas Bronis. Ha… ha… ha…”
“Sialan Loe!” ujar Andar sambil ngebaca surat itu.
“Apa isinya?” tanyaku penasaran. Habisnya, wajahnya langsung kusut paz ngebaca surat itu.
“Aku doputusin,” jawabnya.
Wah… gak nyangka seorang Andar bisa diputusin.
“Serius?!” tanyaku masih gak percaya.
“Katanya, dia gak mungkin ninggalin cowoknya karena anak kecil. Tapi dia tetep sayang padaku!”
“Yeee… PD banget Loe jadi orang.”
“Emang, kok! Nih… di sini tertulis kalo dia sebenernya sayang banget ma aku, tapi lebih baik aku melupakannya!”
“Cup… cuop… cuo…! Ha… ha… ha…”
“Awas kau, ya! Jangan lari!” teriaknya sambil mengejarku.
Tapi aku tak pernah nyari cara buat ngehibur tuh cowok. Wong dia bisa dengan mudah ngelupain setiap gadis-gadis yang berlalu dari cerita hidupnya. Buktinya, meski di LDKS gini… masih sempet-sempetnya tuh anak pacaran ma Novi di sela-sela kegiatan! Emang eror dia itu! He… he… he…
Kegiatan terakhir kami sebelom kembali lagi ke skul adalah penjelajahan. Kegiatan ini yang paling aku sukai jika aku mengikuti LDKS selama ini. Dan otomatis temen-temen juga pasti setuju dengan pendapatku. He… he…
Kami berpetualang melintasi gunung dan melewati lembah. Wah… kayak Ninja Hatori, ya! Ha… ha… ha… Pokoknya asyik, seru dan seru banget! He… he…
Sehabis kami bersih-bersih diri karena berkotor-kotoran, kami punya waktu bebas bersantai. Nah… sebagian dari kami ada yang istirahat, ada juga yang asyik maen sepak bola. Ada juga yang ngerumpi. Terutama 1001 alias Aku, Mimi, Sarah dan Alfi! He… he…
Dan semua tragedy berawal dari cerita ini…
“Tolong… tolong…!”
Di tenda putra tampak begitu ramai. Semua penghuninya tampak rebut. Kami semua lari ke sana. Dan kakak senior sibuk mondar-mandir nyari kotak P3K.
“Kok kotak P3K, sih?”
Seekor serangga beracun menggigit paha Fauzi dan mata Andar. Paha Fauzi dan mata Andar terlihat membengkak. Dan kakak senior yang jadi SIE Kesehatan, segera mengobati nereka.
“Lho… Andar mana?” Tanya Mbak Yani, ketua pelaksana dari kegiatan itu.
Oh iya… kami sampe’ gak sadar kalo Andar gak ada dalam forum makan malam itu.
“Apa dia masih sakit akibat gigitan serangga beracun tadi siang?” Tanya Mbak Yani. “Ketua kelompoknya siapa?”
“Biar aku yang panggil, Kak!” kata Ahmad yang kemudian menuju tenda. Tak berapa lama, Ahmad pun kembali dengan membawa Andar bersamanya.
Tubuihnya tampak lusuh dan mukanya terlihat membengkak.
“Kau gak apa-apa, Dek?” tanya Mbak Yani khawatir.
“Aku gak apa-apa, Kak!” jawabnya.
“Ya sudah! Sekarang kau makan dulu bersama kelompokmu!” ucap Mbak Yani. “Sekarang kalian boleh makan dan setelah itu kita akan pensi sekaligus penutupan kegiatan.”
Yang aku lihat Andar memang kelihatan gak sehat. Aneh… Fauzi udah bener-bener seger, tapi Andar malah semakin lusuh. Pdahal sudah diobati sama kayak Fauzi.
Paz pensi juga githo! EWmang, sih di situ juga ada Mbak Tanti dan cowoknya yang emang alumni OSIS, tapi aku yakin bukan hal itu yang ngebuat Andar tampak lusuh begitu.
“Kau tak laper?” tanyaku padanya. “Saat makan malam tadi, kau tak ikut makan, kan? Jangan bohong… aku melihatmu terus dari tadi!”
“Kau melihatku terus? He… he… he…”
“Jangan GR!” kataku kesal. “Aku Cuma khawatir aja, keadaan Fauzi uda membaik, tapi kau Nampak makin parah.”
Tuh anak Cuma tersenyum lalu beranjak ke tempat Ahmad, Fauzi dan Boy duduk.
“Hei, Rhes...,” panggilnya. “Coba kau lihat itu!” kali ini mengarahkan telunjuknya kea rah Mbak Tanti dan Cowoknya. “Aku akan membuat kejutan untuknya.”
Awalnya, aku gak ngerti apa maksud perkataan Andar dengan menunjuk kedua alumni itu. Tapi kemudian aku mengerti saat dia memetik gitarnya di depan kami semua denga mengeluarkan kalimat…
Lagu ini untuk seorang Mbak yang sangat aku suka. Tapi gak akan bisa aku miliki karena aku hanya dianggapnya sebagai adek kelas yang masih kecil! Lagu ini aku persembahkan untuknya. #OHO AKU… HANYA INGIN KAU TAU…
BESARNYA CINTAKU…
TINGGINYA HAYALKU KEPADAMU
TUK LALUI…
WAKTU YANG TERSISA KINI…
DI SETIAP HARIKU…
DI SISA AKHIR NAFAS HIDUPKU…O..HO…#
Tau gak? Saat itu Mak Tanti dibuatnya ngeluarin air mata hanya dengan sedikit bait lagu itu. Romantis banget, kan kedengarannya? Seandainya itu adalah perasaan yang sungguh-sungguh keluar dari hati Andar… mungkin lirik itu akan terdengar lebih menyayat.
Sejak LDKS itu… Andar sakit dan seminggu dia gak masuk sekolah. Terakhir aku berbincang dengannya, hanya pada saat kami serah terima jabatan OSIS. Yang aku ingat… di tengah barisan paling depan adalah Fatur, yang saat itu menjabat sebagai ketua OSIS yang baru generasi ke-10. Di samping kanannya adalah Fauzi yang membawa bendera Merah Putih. Dan sebelah kiri Fatur adalah Andar yang membawa bendera OSIS.
“Sebenernya, aku gak suka, Rhes jadi senior,” ungkapnya selese serah terima. “Aku takut gak bisa ngasih contoh yang bener-bener ke junior.”
“Iya juga, ya? Tapi emang harus gini rollingnya!”
“Oh iya… aku boleh minta bantuanmu gak, Rhes?”
“Soal cewek lagi?” terkaku. “Gak mau!”
Toh anak malah tertawa mendengar jawaban penerkaanku. Soalnya beberapa hari lalu dia bentrok dengan Novi karena tuh cewek cemburu sama hobi Andar yang banyak fansnya. Dan lagi, hubungannya dengan Mita juga udah gak jelas juntrungnya. Ah… pokoknya aku gak mau masuk lagi dalam permasalahan hidupnya dengan para fans-fansnya itu.
“Ini gak sesuai dengan dugaanmu, Nona Jutek!”
“Terus?” tanyaku masih bersikap malas.
“HUT skul yang ke-10 ntar… aku ingin kau yang jadi ketua panitianya! Kau mau, kan?”
“Apa?!” pekikku. “Gila kau… gak mau!” tolakku. “Haduh, Ndar… pegang HUT skul itu sulit. Lagian, itu, kan program dari Sekbidmu, ketuai saji sendiri!”
“Ya ampun, Rhes… Cuma ini tok permintaanku yang wajib kau penuhi!” ucapnya penuh harap. “Ayolah, Rhes… saat itu tepat dengan ulang tahunku. Ya, Rhes?”
“Malezzz… ngapain juga aku musti “Malezzz… ngapain juga aku musti eror dengan hari ulang tahunmu?” jawabku cuek-cuek saja.
“Rhes… itu usiaku yang ke-17! Sweet seventeen Cuma 1 kali seumur hidup. Ayolah… kau, kan anak yang maniz. Ya?”
“Haduh… kenapa musti aku, sih?” tanyaku geram.
“Karena aku percaya padamu! Karena kau adalah PRENku!”
Baru kali ini aku melihat wajah Andar yang playboy itu berubah menjadi memelas. Aku hanya menghela napas panjang dalam kebingunganka mustijawab apa padanya?
“Rhes…! Kau mau, kan?”
Aku menatapnya, lalu tersenyum sambil berkata.
“Ya… aku mau!”
“Benarkah?! Terima kasih, Rhes… terima kesiah banyak! Kau memang Prenku!” ucapnya tampak kegirangan. “Berjanjilah untuk ngebuat kegiatan yang banyak unsure bandnya! Ya… kayak lomba band antar SMA atau apa githo, pokoknya banyak suara anak ngeband!”
“Ya… aku janji!”
Itu adalah percakapan erakhir kami sebelum dia sakit selama berminggu-minggu. Bahkan… dalam kegiatan semester pun dia gak dapat ngikuti.
Suatu sore… temen-temen OSIS ngajakin ngejengukAndar ke rumahnya. Kami membawa beberapa makanan dan buah-buahan. Sampe’ di sana… seorang perempuan setengah baya mempersilakan kami masuk. Mungkin itu ibu tirinya yang dulu pernah aku dengar dari Mbak Yani. Tidak lama setelah kami duduk di ruang tamu… Andar keluar dari kamarnya.
Astaga…!!!
Benarkah yang kulihat ini adalah Andar? Dia terlihat kurus dan mukanya tampak sembab. Tubuhnya juga agak berwarna kuning.
Teman-teman pada nanya segala prihal tentang keadaannya. Tapi tuh anak Cuma menjawabnya dengan senyum playboy seperti biasanya. Hah… aku melihatnya semakin tampak kurus dengan kaos oblongnya dan celana pendeknya yang bermotif kembang-kembang kayak celana pantai.
“He… he… he…!” aku terkekeh melihat pakaian Andar.
“Apa yang kau tertawakan, Rhes?”
“Ah… enggak, gak apa-apa!” jawabku tergugup dengan pertanyaan Andar.
Tapi kami gak lama di situ. Beberapa temen-temen ada yang harus mengikuti les, jadinya kami segera pulang. Satu persatu dari kami, berpamitan pada Andar. Dan aku dapet giliran yang paling akhir untuk pamitan dengannya. Tuh anak tersenyum nyengir dengan wajah pucatnya. Aku menjabat tangannya, tapi tak diperbolehkannya.
“Maaf, Rhes… bukan mukhrim! He… he,,,.”
“Sialan kau!” kataku sambil memukul bahunya.
“Ntar kau malah terkejut kalo megang tanganku, kayak gak bertulang! He… he…,” ucapnya lagi-lagi sambil ntengir.
“Caramu melafalkan kata juga terdengar gak jelas,” ucapku yang mendengar nada suaranya jadi agak sumbang dan terdengar cadel. “Sakitmu ini gak parah, kan, Ndar?”
Tuh anak malah nyengir dan menyuruhku cepat pulang.
“Oh ada teman-temannya Andar, y? Bapak baru pulang kerja!”
Tiba-tiba datang seorang pria berkumis. Mungkin itu ayahnya. Sebelum aku benar-benar meninggalkan rumah Andar… aku sampetin ngeliat laki-laki itu. AAndar tampak begitu hormat padanya. Kalo inget cerita Mbak Yani, aku jadi kepikiran dengan keadaan Andar.
1 minggu setelah itu… kami (aku dan temen-temen OSIS) bahkan temen-temen 1 skul, gak ada yang tau gimana keadaan Andar? Bahkan sampe’ bulan Ramadhan mulai ditapaki. Andar masih belum masuk skul dan gak kabar apapun tentangnya.
“RHES… KM DSRUH ANDAR MNEMUINYA!”
Itu adalah SMS dari Kak Syaiful, seorang mantan ketua OSIS yang kebetulan masih saudara dengan Andar.
“ KE RMHX? AP G’ BS DY JA YG K RMHQ, KAK?” balezku.
“G’ BS! CZ SKRG ANKX DI RWAT D RMH SKIT. TD AQ DRSNA&DY PSEN GTHO. DY DA D KLINIK BUDHEX DI DAERAN DAGANGAN! CPTAN KM KE SNA!”
Sakit?! Andar dirawat di rumah sakit?! Ya Tuhan… perasaanku bener-bener kacau. Aku gak tau musti ngapain sekarang? Aku gak mungkin bisa ke sana karena sepedaku gak ada di rumah. Akhirnya Fatur dan temen-temen yang berangkat ke sana tanpa aku. Penge, se… pengen banget sebenernya aku ikut… tapi, maaf, Ndar!
Pip… Pip… Pip… Pip…
Sebuah telphon dari nomor asing. Dan seperti biasa, aku gak akan mengangkatnya. Kemudian datang SMS dari nomor yang tadi menelphonku itu. SMS itu berbunyi…
“PREN… CPETAN KE KLINIK! AQ IGN BICRA DGNMU, PNTG. WJIB KE SNI! CPETAN!”
Itu SMS dari Andar… Ya aku yakin! Siapa lagi yang panggil aku PREN kalo bukan dia. Akhirnya aku menelphon Mimi agar dia menjemputku. Kemudian Boy datang menjemputku dan kami berangkat bersama-sama dengan teman-teman yang laennya.
Kami datamg ke sebuah klinik di daerah Dagangan. Di situ… di sebuah kamar yang cukup sempit. Seorang cowok kurus terbaring di situ dalam keadaan lemas.
Tau… siapa orang pertama yang langsung ngeluarin air mata begitu melihat Andar terbaring lemas?
Memey…!
Ya… aku mengajaknya ikut bersamaku. Entah kenapa aku merasa dia musti ikut bersamaku?! Memey menangis di sisi ranjang Andar. Dan Andar menatapku dengan tersenyum. Tapi terlihat di matanya kalo dia bertanya-tanya kepadaku. Ahmad membawa Memey keluar dari kamar itu dam menenangkannya di luar. Semua temen-temen bergantian menengoknya. Tapi aku berdiam bersama Memey dan Ahmad di luar. Mekihat Memey yang menangis seperti itu… aku jadi mengurungkan niatku untuk melihat Andar. Aku takut malah akan menangis di hadapannya.
“Rhes… Andar menyuruhmu ke kamarnya!” panggil Mimi.
Aku… sangat ragu untuk masuk. Entahlah…? Tapi dalam hatiku terseliprasa takut yang luar biasa.
“Bisa kau tutup pintunya dan kita bicara berdua aja, Rhes?”
Tanpa berkomentar aku langsung menutup pintu kamar itu. Aku duduk di kursi yang tersedia. Andar tersenyum-senyum saja. Wajahnya terlihat amat pucat. Kami belum sempat berbicara, sampe’ HPku bordering.
“Halo…!”
Aku menekankan tanganku ke HP itu dam berucap pada Andar. “Mbak Tanti.”
Andar menggelengkan kepalanya. Dan segera aku berucap pada Mbak Tanti,
“Aku gak ikut temen-temen ke Andar, Mbak! A ku lagi di rumah.” Dan telphon pun terputus. “Kenapa kau tak mau bicara dengannya?”
“Aku…,” suaranya semakin terdengar gak jelas. “Aku gak ingin dia mendengar suaraku yang gak bisa melafalkan huruf benar dan keadaanku yang gak berdaya saat ini, Rhes!” tuturnya. “Bahkan aku sudah meninggalkan Novi.”
“Lho… kenapa?!” pekikku.
Dia cuma tersenyum aja, gak jawab pertanyaanku.
“Siapa yang menungguimu di sini, Ndar?”
“Gak ada!” jawabnya cepat. “Setiap saat aku selalu sendirian. Meski inirumah saudara sendiri… tetep aja di sini aku sebagai pasien. Setelah memeriksa, ya pasti akan pergi!”
“Orang tuamu? Keluargamu?”
“Gak ada yang datang.” Jawabnya sambil memalingkan wajah dariku. “Mereka Cuma mengantar dan meninggalkan aku di sini sebagai orang sakit. Hanya Mas Syaiful yang kadang-kadang datang menjengukku.”
“Kasihan sekali lau, Ndar,” ucapku dalam hati.
“Kau ingin tau siapa yang selalu setia menemaniku saat aku sendirian di sini selama ini? Coba kau buka di bawah kasur ini!”
Aku membukanya… Dan tau apa yang aku temukan?!
“Rokok?!”
Ya Tuhan…! Ini yang dia maksud dengan teman yang selalu setia menemani hari-hari sakitnya?! Andar hanya tersenum saja melihat ekspresi terkejutku. Aku ingin marah dan membentaknya… tapi…
“Kau ingin marah? Marah saja!” kata Andar menantangku. “Gak ada yang lebih setia menemaniku selain mereke, Rhes… bahkan keluargaku sekalipun! Aku malah bersyukur ada di sini. Setidaknya, aku tak mendengar atau terlibat dalam pertengkaran bodoh mereka. Aku sudah muak… capek, tiap hari mendengar suara-suara yang membengkakkan telinga. Mereka gak pernah memperdulikan aku, bahkan saat ku dalam keadaan seperti ihi pun… mereka gak ada di sini. Padahal aku sangat ingin mereka ada bersamaku saat ini.”
BRUUUKKK!!!
“Hei… apa yang kau lakukan?!”
“Kau gak bisa liat, ya? Aku sedang memasukkan semua teman-temanmu ini ke dalam tong sampah,” ucapku ketus. “Yang namanya teman itu yang bisa memperingatkan saat kau salah… bukan yang malah menjerumuskanmu ke dalam masalah! Dasar kau gila!”
Lagi-lagi Andar tersenyum menanggapi celotehanku. Aku melirik ke meja di samping ranjangnya. Ada nasi dengan lauk ayam masih utuh. Kelihatannya Andar gak menyentuhnya sama sekali.
“Kau gak makan?” tanyaku.
“Mana mungkin aku bisa makan makanan seperti itu? Bicara saja sulit. Tenggorokanku sakit!”
Aku keluar dan mengambilkan bubur yang kebetulan dibawa temen-temen untuknya tadi.
“Kau harus makan, Ndar… agar kau sembuh!”
“Aku ingin puasa, Rhes!” jawabnya.
Aku tak lagi memaksanya untuk makan. Biarkan saja dia berpuasa. Entah kenapa aku berpikir begitu?
“Kau…,” ucapku tertahan. “Kau pasti akan sembuh, kan, Ndar?”
Aku, kok melempar pertanyaan kayak githo, ya? Gak sadar! Andar tersenyum dan berkata,
“Ya ampun, Rhes… nasi jagung rasanya masih enak. Gak mungkin aku pergi githo aja! He… he… he…”
Aku mulai beranjak hendak pulang. Sampai aku di depan pintu, tiba-tiba Andar berkata,
“Rhes… aku ingin sekali melihat keluargaku berkumpul. Termasuk ibu dan Mbak Erika.”
Aku sempat terkejut, tapi kemudian aku memaksa diriku untuk tersenyum dan membalas kata-katanya.
“Kau akan melihat mereka berkumpul di hadapanmu, pasti! Tunggu saja! Aku pulang,ya!”
“Satu lagi, Rhes…,” panggilnya yang membuatku terhenti.
“Ada apa?”
Andar terlihat meringis.
“Kua itu…,” ujarnya. “Jangan jutek-jutek jadi orang, ntar malah gak dapet pacar, lho! He… he… he…”
Aku pun membalas candaannya dengan berucap,
“Lebih baek gak dapet pacar daripa dapet yang gila kayak kau. He… he…”
“Awas, ya… tak doain biar ntar kau dapet cowok yang sama kayak aku!”
“Sama apanya? Playboynya yang sama?” ucapku sambil tertawa.
“Bukan playboynya, tapi gantengnya! Ha… ha… ha…”
“Ah… kau! Aneh-aneh aja. Udah, ya aku pulang dulu! Cepat sembuh!”
“Iya hati-hati!”
Tak pernah aku berpikir kalo dialog kami itu akan menjadi dialog yang terakhir.
Sejak dari klinik itu, gak pernah aku dapat kabar kelanjutan tentang keadaan Andar. Dia juga gak pernah lagi SMS aku untuk minta di temeni ngobrol. Ya… aku Cuma berpikir, mungkin dia emang butuh istirahat dan aku gak boleh mengganggunya.
Malam 26 Ramadhan…
Siang itu matahari begitu terik.
Jazy… Dia seorang anak extra seni, tepatnya dari seni tari. Dihabiskannya siang yang panas itu dengan mendengarkan radio.
“Ibu…,” teriaknya dari dalam kamar. “Kaos almamater seniku mana? Lok gak ada di lemari?”
“Ya ini ada di bak cucian kotor,” jawab ibunya. “Memangnya mau kau apakan? Pakaian itu, kan masih kotor.”
“Aku ingin memakainya,” jawab Jazy dengan mengambil kaos almamater berwarna merah itu.
“Itu, kan masih kotor, Jaz…! Kayak gak ada kaos yang laen aja, deh!”
“Gak tau, deh, Bu… tiba-tiba aku ingin sekali memakainya.”
Setelah mengambil dan memakai kaos extranya itu, Jazy kembali ke dalam kamarnya dan kembali mendengarkan lagu-lagu di radio itu.
“Oke kanca muda, kembali lagi di EBS THE TUNED SPIRIT STATION,” penyiar di radio itu mulai berkreatif mengolah kata. “Coba kita lihat! Wah… banyak banget, nih yang request lagu slow, ya! Kayaknya hari ini perasaan kanca muda semua lagi mendung, ya! Gak usah sedih-sedihan… mendingan langsung aja Jova puterin lagunya PETER PAN yang banyak direquest kanca muda semua. Selamat ngedengerin… Ini dia SEMUA TENTANG KITA.”
# WAKTU TERASA SEMAKIN BERLALU… TINGGALKAN CERITA TENTANG KITA… AKAN TIADA LAGI KINI TAWAMU TUK HAPUSKAN SEMUA SEPI DI HATI…# Dan bla… bla… bla…!
“Haduh… lagu-lagunya kok menyedihkan kayak gini, ya? Hawanya gak enak banget hari ini,” keluh Jazy. “Perasaanku jadi ikutan gak enak, nih!”
Bukan hanya Jazy yang ngerasain kegundahan di hari itu. Tapi Mimi, Alfi dan Sarah pun sama.
Siang itu mereka menghabiskan waktu bersama di rumah Alfi. Kebetulan mereka lagi ngebuat konsumsi untuk kegiatan Safari Ramadhan dan I’ tikaf.
“Eh… tadi kelasku diajari lagu GUGUR BUNGA, lho paz pelajaran seni,” celoteh Mimi menceritakan pengalamannya.
“Lagu itu yang kayak gimana, sih?” tanya Alfi.
“Ya ampun, yang gini, lho… # BETAPA HATIKU TAK KAN PILU… TELAH GUGUR PAHLAWANKU…# Ya, githo-githo, deh!”
“Eh, Mi… gimana kalo diganti gini aja lirriknya…,” timpal Sarah. “# BETAPA HATIKU TAK KAN PILU… TELAH GUGUR SAHABATKU…#”
“Sahabatku?! Kok jadi SAHABATKU?” protes Mimi.
“Ya… gak tau kok tiba-tiba nyecplos kata itu,” bela Sarah.
“Ngomong-ngomong, Andar gimana, ya?” sahut Alfi. “Kita gak pernah dengar kabarnya lagi.”
Mereka bertiga bertatapan. Ya… emang bener! Gak ada di antara kami yang dapet kabar tentang Andar.
“Mudah-mudahan aja dia udah lebih baek!”
“Amin…!” sahut Sarah dan Alfi mengamini doa Mimi.
Sementara itu…
Di sebuah kamar… seorang gadis masih tertelengkup di atas ranjang. Tampak dua orang gadis berseragam SMA menggedor-gedor pintu kamar itu, namun tak oernah ada jawaban dari seseorang yang ada di dalamnya.
“Mita… Mit…!” pangil Lisa. “Ini aku dan Rista. Mit, buka pintunya, Mit… jangan mengurung diri dalam kamar terus! Mita…!”
Mita tetap gak bergeming. Sudah berhari-hari dia gak mau makan. Bahkan dia sempat masuk klinik karena gejala tifus. Hati gadis itu begitu terpukul dengan keadaan Andar. Meski begitu… dia masih sangat mencintai gitaris itu.
“Mita… Mit… tolong buka pintunya, Mit…!” eriak Rista.
Dengan wajah pucat dan lusuh, Mita keluar dari kamarnya itu.
“Mita.”
Gadis itu masuk lagi ke dalam kamarnya dan diikuti oleh Lisa dan Rista. Mereka berdua duduk di sebelah Mita. Perasaan haru menyeruak dalam hati mereka melihat keadaan sahabatnya seperti itu. Bahkan… Lisa tak lagi bisa menahan air matanya.
“Mit, sampe’ kapan kau kayak gini? Kasihan orang tuamu yang tiap saat musti khawatir padamu. Mit…,” isak Lisa.
“Andar…,” gumam Mita. “Dia terbaring di sana.”
Gadis itu terlihat makin ling-lung. Rista dan Lisa hanya bisa merasa pilu dengan keadaan sahabatnya itu.
“Sudahlah, Mit… jangan sakiti dirimu terus!” ujar Rista dengan mendekap sahabatnya itu.
“Andar akan sembuh, Mit… percayalah!” kata Rista. “Kalo ntar dia melihatmu dalam keadaan kayak gini, dia akan kecewa.”
“Dia akan sembuh?” desah Mita.
“Ya, dia akan sembuh! Karena itu, kau gak boleh kayak gini, Mita…! Gak boleh!”
“Lis… Ris…,” desis Mita. “Aku sayang dia… Aku ingin dia sembuh… Tersenyum di hadapanku… Maen band bareng lagi! Aku ingin bisa seperti itu lagi! Aku gak ingin melihatnya terbujur dalam kamar rumah sakit… Gak mau!”
Ketiga sahabat itu saling berangkulan dan air mata mereka mulai menetes. Sesak perasaan Lisa dan Rista melihat keadaan Mita. Dan sesak dirasa Mita karena beban persaan yang dirasanya saat melihat orang yang begitu dicintainya dalam keadaan terbaring lenas di rumah sakit.
“Halo… Oh Widya!” kata Fatur yang menerima telephon. “Ada apa? Apa?!” pekiknya. “Ya, baiklah, Ya,… Wa’alaikum salam!”
“Ada apa?” tanya Seli.
Fatur masih tetap berdiri mematung.
“Ada apa, sih? Jangan buat orang penasaran, donk!” protes Seli.
“Rhes…,” teriaknya.
Itu anak berlari menemuiku yang sedang mempersiapkan kegiatan I’tikaf di musholla skul bersama beberapa anak OSIS.
“Rhesa… Rhes…!” Fatur tampak kebingungan.
“Ada apa?” tanyaku. “Tenang, deh! Jelasin, kau itu kenapa?”
Fatur menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya. Baru setelah itu dia berkata,
“Rumah sakit…,” suaranya masih terdengar tersengal. “Andar… Andar koma, Rhes!”
“Apa?!”
Astaga...!!!
Bukan hanya aku… tapi seluruh temen-temen yang ada di situ pun terkejut bukan main. Tubuhku serasa gak bertulang. Lemas rasanya! Hampir semua yang ada di situ menangis. Andar… Andar… Andar…!!! Entah apa yang saat ini terjadi padanya? Aku bahkan terlalu shock sampe’ mati semua gerakan fisik dan psikisku.
Aku, Fatur dan beberapa anak OSIS langsung pergi ke rumah sakit.
Sape’ di sana… kami segera mencari ruangan tempat Andar di rawat. Teman-teman yang laen pada masuk ke ruangan itu. Tapi aku gak berani. Aku masih tetap terduduk di ruang tunggu.
“Hu…hu…hu…!”
Tangisan yang mengharu-biru segera mengiringi keluarnya teman-teman dari dalam ruangan itu. Aku malah semakin gak berani untuk bertanya apapun tentang apa yang sudah dilihat mereka di dalam.
Sebuah pintu kaca… Aku melihat Prenku itu terbujur lemas di atas ranjang dari pintu kaca itu. Dia di kelilingi oleh selang infuse. Napasnya tersengal. Dia terlihat amat sulit bernapas.
Ya Allah…!!!
Dalam ruangan itu, tidak hanya ada Andar. Tapi 8 pasien yang keadaannya sama persis seperti Andar. Apakah dia gak malah semakin sulit bernapas, Ya Allah? Aku sungguh gak samggupmelihat kadaannya seperti itu.
“Mbak, apakah pasien ini jadi dipindahkan ke ruangan khusus? Keadaannya semakin parah.”
Seorang dokter menghanpiri perempuan yang dari tadi menunggui Andar.
“Apa tak bisa dipindahkan sekarang dan uang pendaftarannya menyusul, Dok?”
Si dokter tampak menggeleng, lalu menyuntikkan obat ke dalam tubuh Andar.
Perempuan yang tampak masih sangat muda itu keluar dari kamar. Dia mengamatiku yang dari tadi terpaku melihat kea rah Andar.
“Rhesa?!” panggilnya padaku. “Kau yang bernama Rhesa?”
Aku terhenyak. Tapi aku tak mengatakan apapun.
“Bisakah kita bicara di luar sebentar, Dek?” tanya Mbak itu kepadaku.
Tanpa mengucap apapun, aku mengikutinya dari belakang. Darimana orang ni tau namaku? Kenal aja baru pertama ini! Untuk beberapa saat, dia masih terus mengamatiku. Lalu dia tersenyum dan tampak bersahabat kepadaku.
“Namaku Erika!” katanya memperkenalkan diri. “Aku kakaknya Andar. Mungkin kau elim pernaj mendengar tentangku, ya? Ya… itu wajar… karena aku memang tak tinggal 1 rumah lagi dengannya.”
Aku udah berani menduga kalo perempuan ini adalah salah satu kakak Andar yang sekarsng tinggal bersama ibu kandungnya. Tapi bagaimana dia tau namaku? Dan aku tak berani untuk menanyakan itu padanya.
“Bisakah kau ceritakan padaku tentang Andar? Mungkin saat dia ada di sekolah? Aku ingin sekali tau banyak tentangnya. Bisakah?”
“Kenapa Andar tak dimasukkan kamar khusus? Dia butuh perawatan yang lebih, kan, Mbak?”
Mbak Erika tersenyum. Dia melongokkan kepala kea rah pinti depan.
“Nyari seseorang?” tanyaku.
“Iya,” jawab Mbak Erika. “Aku menunggu Radit. Dia sekarang ke Surabaya jemput ayah sekalian minta uang untuk biaya pindah kamarnya Andar.”
“Jadi gak ada yang tau kalo Andar sedang koma di sini, Mbak?” tanyaku terkejut.
“Tau!” jawab Mbak Erika. “Tapi memang belum ada yang sempat datang. Hanya aku dan Radit yang bergantian jagain dia di sini.”
Keterlaluan…!!! Seharusnya semua keluarganya berkumpul saat ini, tapi dia dibiarkan sendiri. Padahal Andar waktu itu pernah bilang kalo dia sangat ingin keluarganya berkumpul.
“Andar banyak cerita soal diakepadamu? Apa kalian…?”
“Tidak… Jangan salah sangka!” sergahku cepat. “Kami hanya berteman, hanya itu! Dan dia orang yang tertutup. Dia gak akn semudah itu menceritakan berbagai permasalahannya ke orang laen.”
“Oh… maaf! Aku kira ada hal serius di antara kalian. Ya Andar dari memang sulit sekali terbuka pada orang laen,” kata Mbak Erika dengan tersenyum ramah. “Oh iya… bisakah kau ceritakan padaku tentang kegiatan kemah kalian beberapa waktu lalu dan gigitan serangga beracun itu?”
Kemah…? Serangga beracun…? Apakah yang dimaksud dengan kemah adalah masa LDKS? Dan apa ada hubungannya dengan serangga itu? Apa Andar sakit gara-gara itu?
“Benarkah saat itu dia digigit oleh serangga beracun?”
“Apa dia jadi separti ini karena hal itu?” tanyaku spontan.
“Ada pengaruhnya, sih… tapi bukan!” jawabnya. “Andar di vonis dengan penyakit Hepatitis, Ginjal, Lever dan gangguan paru-paru. Sejak dia mulai dia mengkonsumsi rokok dan miras, organ tubuhnya jadi gak berfungsi secara normal. Levernya udah gak bisa lagi nawar racun, dan ketika racun serangga itu masuk dalam tubuhnya… racun itu bisa dengan mudah nyebar!”
Begitu banyak penyakit yang bersarang di tubuhnya. Keadaan Andar bener-bener memprihatinkan. Aku yakin, biarpun Mbak Erika tersenyum begitu… hatinya pasti sangat sakit.
“Er, Ayahmu sudah datang?”
Tiba-tiba datang seorang perempuan setengah baya yang belum pernah aku liat sebelumnya. Wanita itu menatapku dengan pandangan bertanya-tanya. Aku menundukkan kepala untuk member hormat.
“Kau teman sekolah Andar?”
Sebelum aku sempat menjawab, perempuan itu lekas melempar pertanyaan lagi padaku.
“Kau kenal dengan Ahmad, Fauzi dan Boy?”
“I… Iya!” jawabku tergugup.
“Bisakah kau suruh mereka ke sini?” katanya kemudian. “Sebelum dibawa ke sini, Andar sempat berpesan untuk bertemu dengan mereka!”
Lalu…
“Andar… Bagaimana keadaannya, Mbak?”
Kali ini datang lagi seorang prempuan. Aku pernah melihatnya. Dia ibunya Andar! Ya dia ibu tiri Andar.
“Mana Yos?!” bentak si ibu kandung. “Laki-laki itu malah enak-enakan duduk di meja kerjanya di saat anaknya sendiri sekarat! Dia memang gak pernah bertanggungjawab pada keluarga. Ahg… Yos… sial kau!” umpatnya.
Aku berlari menuju kamar rawat Andar yang sempit itu. Aku tetap hanya sanggup melihatnya lewat pintu kaca.
Ya Allah…!!!
Bahkan aku gak bisa berbuat apa-apa di saat sahabatku terbujur lemas bertarung dengan penyakitnya. Aku hanya bisa meneteskan air mata tanpa ada yang bisa ku perbuat. Ahg…!!! Rasanya aku ingin berteriak bahwa ini semua gak adil. Tapi aku gak mampu untuk ngelawan ketidakberdayaan ini.
“Dek…!” Mbak Erika menemuiku, memelukku. Dan mungkin goncangan tubuhku karena tangis bisa dirasakannya.
“Jangan menangis!” ujarnya. “Andar gak akan kenapa-napa… kita berdoa saja, ya!”
“Mbak…,” desahku. “Andar sangat sayang pada keluarganya. Ibunya yang srekarang sama Mbak. Ayahnya, ibu tirinya, Mas Radit, Satrio dan Mbak Erika! Dia sangat menyayangi kalian. Dia hanya ingin 1 hal, Mbak! Satu hal yang gak mahal… yang gak akan terbeli dengan uang… 1 hal yang sangat sederhana tetapi sangat berharga buatnya.”
“Apa itu?”
“Keluarga!” jawabku. “Dia hanya ingin melihat keluarganya berkumpul, hanya hal sederhana itu yang dia ingin, Mbak! Bahkan di saat seperti ini kalian masih sempat berdebat. Seandainya dalam keadaan koma seperti itu dia bisa melihat kalian bertengkar… mungkin dia pikir akan percuma saja dia bertarung melawan penyakitnya jika saat sembuh, hanya pertengkaran yang akan dilihatnya!”
Mbak Erika membengkap mulutnya. Dia menahan tangis. Mungkin ucapanku terdengar gak enak, tapi biar saja! Biar mereka gak terus-terusan berantem. Lagian hal itu emang yang diinginkan Andar.
“Mana Andar? Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Jangan banyak tanya! Sekarang lebih baik kau urusi segala pembayaran agar Andar cepat dipindahkan ke kamar khusus!”
Pak Yos…!!! Akhirnya orang yang ditunggu-tunggu datang juga! Mereka segera mengurusi segala persysratan pindah kamar. Dan aku… Aku juga musti pulang. Setelah teman-teman bergantian menyampaikan salam perpisahan ke kamar Andar, baru aku masuk sendirian.
“Andar… Kau mendengarku, kan?” bisikku di telinganya.
Yang terlihat olehku hanya badan kurus yang dipenuhi penyakit. Dia tak seperti Andar yang selalu bsa , menakhlukkan banyak cewek. Dia tampak gak berdaya.
“Selirih keluargamu udah datang. Kau bisa lihat, bukan? Kau harus sembuh agar bisa berkumpul dengan mereka lagi!”
Cara bernapasnya semakin sulit. Bola matanya bergerak melirikku. Aku tau dia bisa dengar ucapanku. Aku tau saat itu… dia benar-benar sedang berjuang melawan maut.
Tangannya begitu lunglai dan kecil. Aku gak bisa lagi nahan air mataku. Aku bahkan hanya bisa diam melihat sahabatku tergeletak begitu.
“Rhes… ayo cepet!”
“Iya.”
Sekali lagi aku menatap lekat Andar. Entah kenapa… aku merasa ingin memuaskan mataku untuk melihatnya? Aku dekatkan wajahku ke telinganya dan berucap,
“Andar… SEMANGAT…!!!”
Dan air mataku kembali mengalir.
Sempat aku lihat, Pak Yos dan seluruh keluarganya berada di samping ranjang tempat Andar berbaring. Mas Radit tampak begitu kacau keadaannya daripada yang lain. Rasa sesal dan kecewa terpancar jelas dari wajah Pak Yos. Laki-laki tua itu memeluk Mas Radit yang tersungkur di samping ranjang Andar.
“Andar akan sembuh. Iya kan, Yah? Iya, kan?” isak Mas Radit denga tangis menjadinya.
Dan pertanyaan itu hanya bisa dijawab Pak Yos dengan anggukan dan air mata.
Jum’at… 5 Oktober 2007
Allahu akbar… Allahu akbar!
Aku membatalkan puasaku ketika adzan Maghrib berkumandang. Entah kenapa… perasaanku begitu mengganjal. Seperti ada sesuatu yang aku lupakan. Tapi apa?!
Pip… pip… pip… pip…
“Halo… ya baiklah! Tunggu aku, ya!”
Teman-teman mengadakan buka bersama sekaligusn doa bersama untuk Andar di sekolah. Fatur memimpin kami semua untuk memulai acaranya. Semua berjalan baik-baik saja, sampai ketika Fatur menerima telphon.
“Apa?!”
“Ada apa?” tanya Mimi.
“Andar…,” desis Fatur.
“Ada apa dengan Andar?”
“Dia… dia… dia meninggal…!”
PYAAARRRRR!!!
Piring nasi yang aku bawa jatuh berkeping-keping.
Semuanya menangis. Sedangkan aku… aku hamper tak dapat percaya dengan apa yang aku dengar barusan. Ini seperti sebuah lelucon.
“Gak mungkin… gak mungkin!” pekikku mulai histeris. “Andar gak mungkin meninggal. Ini gak mungkin, kalian pasti bercanda. Ya Tuhan… candaan kalian itu gak lucu!”
Rinda memelukku, mencoa menenangkan aku yang mulai gak bisa ngendaliin diriku sendiri.
“Sabar, Rhes… sabar!” ucap Rinda.
“Gak mungkin… gak mungkin! Tadi siang aku masih melihatnya. Dia berjuang melawan penyakitnya. Aku tadi melihatnya di rumah sakit. Aku yakin dia bisa melewati masa kritisnya. Dia gak mungkin mati… gak mungkin…!” teriakku.
Dan benar saja… sebuah mobil Ambulance berhenti tepat di de[an rumah Andar. Beberapa orang berpakaian dinas rumah sakit mengeluarkan seseorang dari dalam mobil itu.
“Huuuu… huuuu…. Huuuu…”
Innalilahi wainna ilaihi roji’un…!
Andar… itu Andar?!
Seseorang yang terbalut dengan kain kafan itu adalah Andar? Semua yang datang dan menangis ini karena Andar? Jasad itu adalah Andar?
Ya Tuhan… aku masih gak bisa untuk nerima ini dengan logikaku. Ini seperti sebuah cerita fiksi. Atau mungkin saat ini aku sedang tertidur dan ini mimpi. Ya aku yakin ini hanya mimpiku saja.
Tapi…
“Andaaar!”
“Mita… sudah, Mit…!”
Gadis itu… berkali-kali dia pingsan.
Laailahailalloh… Laailahailalloh…!
Malam itu…
Mungkin sekitar jan sebelas malam… tempat pemakaman desa itu menjadi sangat ramai. Dari mulai temen-temen kecil, temen club motor, temen extra seni, temen OSIS, semuanya… semuanya datang dan membamjiri rumah gitaris itu dengan air mata.
Dan malam itu…
Aku gak bisa mendengar apapun selain berbagai kenangan-kenangan dan aksi pertengkaran yang pernah terlewati olehku bersama Andar.
“Rhes… idurlah meski sebentar!” ucap Rinda yang melihatku terus duduk di beranda rumah Mimi. “Besok kau akan sulit bangun buat sahur kalo kau gak tidur.”
“Aku di sini! Dia akan datang untuk berpesan sesuatu padaku. Aku akan tetap di sini, Rin!”
Rinda membekap mulutnya untuk menahan tangis. Dan gak Cuma aku, tapi semuanya… aku yakin gak ada seorang pun yang bisa memejamkan matanya malam ini.
Entah itu suatu hal yang nyata atau tidak? Tapi… sayup-sayup aku mendengar suara gitar yang dipetik perlahan.
#DAN SETERUSNYA RASA ITU SLALU TERJADI DAN TAK PERNAH BERKURANG…
HATIKU HANYA UNTUK DIRIMU… AKU BAHAGIA HANYA JIKA KAMU BAHAGIA…#
“Andar!” pekikku.
Kuedarkan pandangankumke seluruh penjuru, tapi gak ada siapapun. Halusinasi… ya itu hanya halusinasiku saja. Andar udah gak ada. Dia udah mati. Gak mungkin dia akan memainkan gitar lagi. Itu gak mungkin!
Setangkai bunga sedap malam tertaruh di atas makam itu.
1 minggu semenjak Andar pergi, aku datang ke makamnya. Aku lihat Mita keluar dari makam. Dan seikat sedap malam tertinggal di sana.
“Hai, Ndar… ini dari Mita, ya? Aku merindukanmu, Ndar. Gak ada lagi yang panggil aku Nona Jutek. Dan aku tak lagi bisa panggilmu dengan sebutan Playboy Tak Berotak. Dan… aku gak lagi punya seorang PREN… gak ada yang isa menggantikanmu…! Persahabatan kita yang dimulai dari hukuman masa MOS sampai akhirnya aku menyaksikan hari terakhir kau bernapas. Aku ingin kau tetap hidup… tetap ada sebagai PREN ku meski dalam raga orang lain. Tapi itu tidaklah mungkin. Ya… aku tau itu! Bahagialah di sana, Ndar! Kau sungguh teman yang baek. DIA sangat sayang padamu, karena itu… DIA inginkan kau ada di singgahsanaNYA saat ini. Selamat tinggal, PREN!”
Kali ini aku benar-benar mendengarnya…!
Seorang anak extra seni memetik gitarnya dan bersenandung…
#SELAMAT JALAN TEMAN, SEMOGA KAU TENANG
SEMUA CANDA TAWAMU TAK KAN PERNAH HILANG
DALAM SETIAP LANGKAH KAU SLALU ADA
SAMPAI KINI KU TAK PERCAYA KAU TLAH TIADA
#MUNGKIN BATU NISAN PISAHKAN DUNIA KITA
NAMUN AMBISIMU KAN KU JAGA SLALU MEMBARA
GAPAILAH DOA YANG SLALU KU BACA
MENEMANI LANGKAHMU MENUJU SINGGAHSANA SURGA…#
Itu dalah serenede untuk Andar. Sebuah senandung yang terlantun di malam hari… untuknya… Sang Gitaris
Kadang untuk menghadapi kenyataan yang buruk emang diperlukan keberanian yang besar.
Tapi, tetap saja…
Kita lahir itu pasti membawa sesuatu… dan apa itu? Itu adalah senyuman untuk orang tua kita.
Dan saat kita hidup pasti kita akan memberikan sesuatu… dan apa itu? Itu adalah kebanggaan untuk orang-orang yang menyayangi kita.
Di saat kita mati pun kita akan tinggalkan sesuatau… apa itu? Itu adalah sesuatu yang berharga yang tak akan bisa tergantikan dan terbayar dengan apapun. Ituadalah… KENANGAN… KENANGAN… dan KENANGAN!
*(^,^)* TAMAT *(^,^)*