“SAHABATKU ADALAH KAKAKKU”

Sebelumnya perlu sya beritahukam cerpen ini adalah karya temenku Yayuk Fatmala.. 
Selamat membaca

Aku adalah seorang gadis yang tentunya mempunyai harapan - harapan yang ingin sekali kucapai. Salah satu harapan itu adalah ketulusan kasih sayang seorang kakak. Kakak laki-laki yang dengan ketulusan hatinya menyayangi aku. Tapi sayangnya, aku anak pertama dan mempunyai satu adik perempuan. Mustahil sekali kalau aku mengharapkan hadirnya seorang kakak.

            Aku mempunyai banyak sekali teman cowok, entah mereka sudah bekerja ataupun masih bersekolah. Meskipun aku cewek, aku senang bergaul dengan cowok. Aku bisa mendapatkan kenyamanan yang lebih dari mereka, dibandingkan jika aku bergaul dengan teman cewek. Cowok selalu mengatakan apa yang salah atau kurang benar dari diri aku. Mereka selalu jujur, meskipun terkadang juga menyakitkan. Tapi itu bisa membuat diriku menjadi lebih baik. Berbeda dengan teman cewek, teman cewek selalu ngomongin kekuranganku dibelakangku. Selain itu, cewek lebih cerewet dan jika aku curhat sama mereka, mereka lebih banyak mengomentari aku dan solusinya jarang sekali bisa membuat masalahku selesai. Omelan-omelan saja yang tertinggal ditelinnggaku. Teman cewek jarang sekali jujur. Pasti ada saja yang disembunyikan. Makanya aku kurang nyaman jika aku curhat sama temanku cewek. Tapi di sisi lain, aku juga sangat membutuhkan mereka. Itulah alasannya kenapa aku pengen banget punya kakak cowok. Aku pengen ada yang ngelindungi aku, ada yang ngertiin aku, kapanpun aku butuh teman curhat, dia selalu ada. Pokoknya aku pengen banget punya kakak cowok.
Dari sekian banyak temanku yang cowok, ada satu yang ingin sekali aku jadikan kakak. Dia namanya Andi. Dia sudah bekerja dan mempunyai seorang cewek. Setiap hari aku selalu berkomunikasi dengan dia, entah lewat telpon ataupun bertemu secara langsung. Setiap aku ada masalah, aku selalu cerita sama dia. Dia juga selalu dengerin cerita-cerita aku dan memberi saran yang dapat membantu memecahkan masalahku. Aku nyaman sekali berteman sama dia. Dia ngerti banget dengan perasaanku. Begitu juga dengan sebaliknya, dia selalu cerita ke aku kalau dia ada masalah. Sebisa mungkin aku bantu dia buat mecahin masalahnya, karena aku nggak pengen mengecewakan dia. Dia sudah banyak membantu aku. Aku ingin membalas semua kebaikan dia. Bagiku dia dewasa banget buat aku.

Suatu hari, aku pengen banget ketemu sama dia. Aku mencoba buat telpon dia.
Kriing. . .kriiinngg. . .kriiinng . . .
“Hallo, Assalamu’alaikum…!!” Angkat seseorang yang kupikir itu Andi.
“Wa’alaikumsalam…!!” Jawabku santai.
“Ini siapa ya ?? “ Tanyanya kepadaku.
“Lho…kok lupa. Lupa beneran apa pura-pura lupa ?” Jawabku sambil bercanda.
“Ini siapa sich…maaf ya aku nggak kenal kamu siapa.” Dia menegaskan.
“Udah dech…nggak usah mulai lagi. Kamu lagi kerja ?” Aku mulai serius.
“Lho kamu ini lho siapa ? Aku nggak tau kamu ini siapa tiba-tiba kamu tanya-tanya tentang aku. Jangan sok kenal dech…!!” Dia nggak terima dan marah-marah sama aku karena dia merasa tidak mengenali aku.
Aku sendiri merasa heran, kenapa Andi nggak mengenali aku. Suaraku pun dia nggak tau. Aku sempat berfikiran kalau yang aku telpon bukan Andi. Tapi anehnya, suara orang dalam telpon itu adalah suara Andi.
“Kamu Andi kan ? temanku yang sering ngatain aku cerewet ?” Tanyaku heran.
“Andi siapa ? Aku bukan Andi. Aku Irfan. Kamu salah orang.” Penjelasan dia meyakinkanku.
“Nggak mungkin aku salah orang. Ini nomornya Andi.” Aku tetap nggak percaya.
“Maaf ya…?!! Aku memang bukan Andi, aku ini Irfan.” Sekali lagi dia meyakinkanku.
Sebenarnya apa sich yang terjadi ? aku ngerasa bingung banget. Emang aku yang salah orang atau Andi yang ngerjain aku…??
“Kamu temannnya Andi ya ? Yang pinjem HP-nya Andi ?” Keherananku memperjelas situasi.
“Ya udah, gini aku jelasin. Namaku Irfan. Dari tadi kamu ngira kalau aku ini Andi. Mungkin yang kamu maksud adalah Andi temanmu yang juga sama dengan Andi temanku.” Penjelasan singkat Irfan.
“Jadi kamu beneran bukan Andi ?” Aku sedikit ragu.
“Bukan. Aku ini temannya.” Jawab dia singkat.
“Trus kenapa HP-nya dia bisa ada di kamu ?” Aku masih bingung.
“HP-nya dijual ke aku. Baru tadi pagi Andi memberi HP ini ke aku. Tuk sementara nomornya tak pakai. Mungkin satu minggu.” Penjelasan dia santai.
“Owh... Aku minta maaf ya ? Aku udah salah orang. Aku kira kamu Andi. Soalnya Andi nggak bilang sama aku kalau HP-nya dijual. Jadi aku nggak tau apa-apa. Sekali lagi aku minta maaf ya ?” Permohonan maafku penuh penyesalan.
“Iya nggak apa-apa….” Jawabnya singkat.
Terjawab sudah semua keanehan yang aku rasakan. Ternyata yang aku telpon adalah Irfan, teman Andi. Aku minta maaf sama Irfan karena dari awal aku ngotot kalau dia adalah Andi.
“Eh,… udah dulu ya ? Aku udah masuk kerja.” Permohonan dia kepadaku.
“Oh iya… maaf ya aku udah ganggu waktu kamu...” Aku masih merasa bersalah.
“Nggak apa-apa kok. Kamu sama sekali nggak ganggu aku” Dia menenangkanku.
“Ya udah kamu lanjutin kerja kamu. Salam kenal aja ya ?” Aku udah lega.
“Iya. Salam kenal juga. Udah dulu ya ? Assalamu’alaikum…!!” Dia mengakhiri pembicaraan.
“Wa’alaikumsalam...!!” Jawabku.
Disamping aku lega, entah kenapa aku masih nggak yakin kalau dia bukan Irfan, tetapi Andi. Suaranya itu mirip banget dengan suara Andi. Setelah aku pikir-pikir, udahlah aku cuek aja. Mungkin cuma perasaanku aja kalau tadi itu Andi, karena aku pengen banget ketemu sama Andi. Nggak mungkin juga Andi ngebohongin aku.
Udah beberapa hari aku nggak pernah berkomunikasi sama Andi. Aku nggak tau kabar dia, karena dia nggak ngasih tahu nomor barunya ke aku. Aku juga nggak pernah ketemu sama dia. Akhirnya aku sering berkomunikasi sama Irfan. Dia orangnya care kok…! Meskipun aku baru kenal sama dia, tapi aku ngerasa kalau aku dekat banget sama dia. Aku ngerasa kalau dia udah nggak asing lagi. Suara dia mengingatkan aku sama Andi.
Suatu hari, Irfan telpon aku.
Kriiinngg……kriiingg…..kriinggg…
“Assalamu’alaikum…!!” Salamku kepada Irfan.
“Wa’alaikumsalam…!!” Irfan menjawab salamku.
“Ada apa ? Kok tumben telpon...” tanyaku santai.
“Emmm…nggak ada apa-apa sich, cuma pengen ngomong-ngomong sama kamu. Emang nggak boleh ?” Dia mulai ngajak becanda.
“Ya boleh-boleh aja sich…” Jawabku malu.
“Oh ya kamu nggak sibuk kan ?” Tanyanya santai.
“Nggak kok, emang kenapa ?” Aku merasa heran.
“Ya aku takut aja ganggu kamu.” Jawab dia memelas.
“Nggak kok, kamu sama sekali nggak ganggu aku. Oh ya, kita kan baru saja kenal, belum sampai satu minggu. Tapi kenapa ya aku ngrasa kayaknya kamu nggak asing lagi. Aku tuh ngerasa udah kenal banget sama kamu. Mungkin cuma perasaanku aja kali ya ?” Keherananku mulai muncul.
Setelah aku ngomong seperti itu, tiba-tiba saja Irfan terdiam. Dia nggak ngeluarin sepatah kata pun, kayaknya dia sedang mikirin sesuatu. Aku ikut terdiam karena kebingunganku. Sejenak dia menjawab
“Masak sich….. kamu aneh dech. Kita baru saja kenal masak kamu ngerasain seeprti itu. Kamu teringat Andi mungkin ?” Dia nggak percaya omonganku.
“Beneran aku emang ngerasain seperti itu. Udahlah nggak usah dibahas lagi, perasaanku aja mungkin.” Jawabku dengan nada memelas.
“Jangan memelas kayak gitu dong… jadi ngerasa bersalah nich aku...” Irfan merendahkan diri.
“Udahlah… Jangan saling ngerasa bersalah kayak gini.” Aku mencoba mencairkan suasana.
“Kamu kok hari ini lemas banget, nggak semangat gitu. Kamu lagi ada masalah ?” Irfan ngerasain keanehan pada diri aku.
“Emmm... Gimana ya ? Dibilang ada masalah sich nggak juga. Aku ngerasa bingung aja.” Aku membuat Irfan penasaran.
“Kalau aku boleh tau, kamu bingung kenapa ?” Tanya Irfan heran kepadaku.
Aku terdiam sejenak. Aku ngomong sama Irfan apa nggak tentang masalahku, karena aku baru kenal sama dia. Takutnya nanti dia nggak bisa jaga masalahku ini. Aku itu paling takut kalau ada orang lain yang membeberkan masalahku. Tapi hati kecilku mengatakan kalau Irfan bukan orang seperti itu. Dia nggak akan membeberkan masalah yang akan aku ceritakan sama dia. Aku nggak tau kenapa, aku ngerasa percaya banget sama Irfan. Aku seperti menemukan sesosok teman yang bisa melindungi aku seperti yang aku rasakan saat berteman dengan Andi.
“Lho kok diam ? Kalau kamu nggak mau cerita sama aku juga nggak apa-apa kok. Aku nggak maksa” Irfan mengalah.
“Sebenarnya sich aku nggak ada masalah, cuma aku bingung aja. Akhir-akhir ini cowokku nggak perhatian lagi sama aku. Aku nggak tau apa yang membuat dia kayak gitu. Entah ada yang salah dari diri aku atau emang dia udah nggak sayang lagi sama aku. Aku bingung harus tanya sama siapa. Aku percaya sama kamu, makanya aku cerita ke kamu biar bebanku terasa berkurang.” Aku memulai cerita masalahku ke Irfan.
“Owh,… jadi itu yang membuat kamu hari ini nggak semangat ? Nggak usah terlalu difikirin. Mungkin cowok kamu capek, atau mungkin cowok kamu lagi ada masalah sama kerjaannya juga. Kamu jangan nganggap dia udah nggak perhatian lagi sama kamu. Kamu masih percaya sama cowok kamu kan ?” Saran Irfan menenangkanku.
“Aku percaya banget sama dia. Ya…mungkin aku aja yang kurang ngerti keadaan dia.” Jawabku atas saran Irfan.
“Positif thinking aja. Yang namanya pacaran wajar kalau ada masalah. Semua orang juga pasti akan mengalaminya.” Irfan semakin menenangkanku.
“Iya….terima kasih banyak ya ? Kamu mau dengerin ceritaku. Terima kasih juga kamu udah ngasih saran buat aku. Aku sekarang jadi lebih tenang.” Kepuasanku atas saran Irfan.
Jujur, aku ngerasa heran banget dech. Perhatian yang diberikan Irfan buat aku sama banget dengan perhatian Andi dulu ke aku. Cara dia ngomong, cara dia nyuruh aku buat sabar, dan cara dia nuntun aku buat menyelesaikan masalah mengingatkanku pada sesosok Andi. Kenapa sich aku selalu merasakan kayak gini ? Kenapa aku selalu merasakan ada sesosok Andi pada diri Irfan ? sampai sekarang aku masih bertanya-tanya tentang hal itu. Tapi aku yakin, suatu saat nanti, aku pasti menemukan jawabannya.
“Emmm… Aku mau ngasih tau kamu tentang sesuatu.” Irfan tiba-tiba membuatku penasaran.
“Apa ???” Tanyaku heran.
“E…e…e… gimana ya ? Nggak jadi dech…. “ Irfan ragu dengan yang mau diomongin.
“Lhoo…kok nggak jadi ? Ada apa sich ? Nggak apa-apa ngomong aja.” Aku semakin bingung.
“Aku takut kamu marah sama aku.” Ketakutan Irfan sama aku.
“Kamu aneh ya ? Kamu kan nggak punya salah apa-apa sama aku. Kamu udah bantu aku. Tapi kenapa kamu malah takut aku marah sama kamu ? Justru aku berterima kasih banget sama kamu.” Kebingunganku sambil membuat Irfan tenang.
“Tapi aku masih takut kamu marah sama aku. Aku takut kamu nggak mau jadi temanku lagi.” Keraguan Irfan semakin besar.
“Aku janji, aku nggak akan marah sama kamu. Aku juga tetap nganggap kamu sebagai temanku, teman yang selalu ada buat aku. Nggak mungkin juga aku melupakan kamu. Aku udah menganggap kamu lebih dari teman. Aku menemukan perhatian dari sesosok kakak yang aku dapatin dari kamu.” Penjelasanku kepada Irfan untuk mencairkan suasana.
“Terima kasih banget kamu udah nganggap aku lebih dari teman. Sebenarnya aku sangat mengharapkan itu semua. Sebelumnya aku mau tanya sama kamu, selama ini yang kamu rasain, siapa sich diriku sebenarnya ? Dari suaraku, perhatian aku ke kamu…” Irfan mulai menjelaskan maksudnya.
“Kalau menurutku, suara kamu itu mirip banget dengan suara Andi. Perhatian kamu juga sama dengan apa yang dilakukan Andi ke aku. Dulu aku menganggap Andi adalah kakak buat aku, karena dia begitu mengerti aku dan bisa ngelindungi aku. Tapi satu minggu ini dia menghilang, nggak ada kabar sama sekali. Saat itu, aku mulai kenal sama kamu. Meskipun baru sebentar kita kenal, tapi aku menemukan sesosok kakak dari diri kamu. Aku ngerasa aku kenal banget sama kamu. Bagiku, sesosok kakak yang dulu hilang sekarang kembali lagi.” Urai panjangku kepada Irfan.
“Semua yang kamu rasakan itu benar.” Pernyataan Irfan mengagetkanku.
“Maksudnya ??” Kekagetanku dengan suara lantang.
“Aku udah ngebohongin kamu. Irfan dan Andi adalah satu. Aku ini Andi yang juga Irfan.” Penjelasan Irfan singkat.
Aku tetap nggak percaya dengan pernyataan Irfan kalau dia adalah Andi. Nggak mungkin juga Irfan ngerjain aku kayak gini.
“Apa sich maksud kamu ? Aku nggak ngerti. Kamu becanda kan ?” Aku nggak percaya dengan pernyataan Irfan.
“Aku nggak becanda. Aku ini serius. Tolong jangan marah sama aku. Aku tahu aku yang salah.” Irfan mencoba meyakinkanku.
Kenyataannya memang seperti itu. Irfan udah ngebohongin aku. Dia udah ngerjain aku. Aku kaget banget, setelah tau langsung dari Irfan sendiri kalau dia benar-benar ngebohongin aku.
“Jadi kamu ngebohongin aku ? Kenapa kamu ngelakuin itu ? Aku punya salah sama kamu ?” Aku tetap nggak terima.
“Dengerin penjelasanku dulu, aku ngelakuin semua itu pasti ada maksudnya…” Penjelasan Irfan tiba-tiba terhenti.
“Maksud apa ?? Maksud ngebohongin aku ? Iya ??” Aku memotong penjelasan Irfan.
“Bukan begitu, aku cuma pengen tau, sebenarnya kamu nganggap aku ini siapa sich ? Seberapa penting aku buat kamu,… cuma itu. Aku nggak ada maksud buat nyakitin perasaan kamu. Kamu jangan salah paham sama aku…” Penjelasan Irfan meyakinkanku.
“Tapi kenapa kamu harus ngelakuin kayak gini ? Kamu nggak mikir gimana perasaanku…” Aku membela diriku.
“Mungkin aku salah ngelakuin kayak gini. Aku minta maaf sama kamu.” Irfan merasa bersalah karena perbuatannya.
“Nggak segampang itu kamu minta maaf. Kamu nggak pernah tau rasanya dibohongin orang yang sangat kita percaya itu gimana. Yang kamu tau, kamu hanya mikirin perasaan kamu.” Penjelasanku singkat sambil nangis.
“Kalau kamu marah sama aku, kamu marah aja. Emang aku yang salah. Aku nggak mikirin perasaan kamu. Tapi jujur aku nggak ada maksud buat nyakitin perasaan kamu. Kamu jangan nangis lagi.” Irfan menenangkanku.
Hatiku sakit banget Irfan udah ngebohongin aku. Tapi hati ini nggak bisa benci sama dia. Selama ini dia udah terlalu baik sama aku.
“Aku memang menganggap kamu sebagai kakak aku. Tapi kamu jangan segampang itu ngebohongin aku. Sulit menemukan orang yang bisa kita percaya dan bisa melindungi kita. Disaat aku udah menemukan itu semua, kamu malah membuat aku kecewa.” Penjelasanku dengan suara tersedu.
“Sekarang hapus air matamu. Kalau kamu sedih, aku juga ikut sedih.” Irfan berusaha menenangkanku.
“Kali ini aja kamu buat aku sedih kayak gini.” Permintaanku kepada Irfan.
“Iya, aku janji. Ini yang pertama dan terakhir kali aku ngelakuin kayak gini.” Irfan menyetujui permintaanku.
Setelah Irfan berusaha menenangkanku, aku sekarang jauh lebih tenang. Aku udah nggak nangis lagi. Suasana juga udah mulai mencair. Sekarang kami mulai belajar saling percaya satu sama lain sebagai kakak dan adik biar nggak ada kebohongan dan salah paham lagi.
“Sekarang aku udah tau gimana perasaan kamu sesungguhnya. Sekarang kamu udah tenang kan ?” Irfan mulai merasa lega.
“Udah mendingan daripada tadi. Terima kasih atas pengertian kamu dan kamu mau jadi kakak aku, meskipun kenyataannya kita adalah teman.” Aku udah mulai tersenyum.
Begitu kecewanya aku tadi. Tapi di sisi lain kejadian ini sangat berkesan buat aku. Aku jadi lebih mengerti siapa Irfan alias Andi sebenarnya. Begitu berharga aku mempunyai seorang kakak, meskipun kami nggak ada hubungan darah. Tapi berawal dari pertemanan dan persahabatan, aku bisa menemukan sesosok kakak dari dirinya. Aku sangat sayang sama dia sebagai kakakku. Begitu juga sebaliknya, dia juga sayang banget sama aku. Begitu tulus semua kasih sayang yang dia berikan buat aku sebagai adiknya.
“Telponnya udah dulu ya, aku mau mandi. Udah jam 16.30 WIB. Entar aku dimarahin ibu.” Aku mengakhiri pembicaraan.
“Iya,. Aku juga mau main sepak bola sama teman-teman. Sekali lagi aku minta maaf ya ?” Andi masih ngerasa bersalah.
“Iya nggak apa-apa. Udah dech nggak usah minta maaf lagi.” Kerisihanku karena Andi minta maaf terus.
“Ok…ok…!! Aku janji akan jadi kakak yang baik buat kamu. Aku nggak akan mengecewakan kamu lagi.” Janji Andi padaku.
“Hmmm…Aku nggak butuh janji. Tapi aku butuh bukti.” Aku menyangkal janji Andi.
“Iya – iya... Pasti aku buktiin kok. Percaya dech sama aku. Ok...!!” Andi masih meyakinkanku.
“Ok... Katanya mau main sepak bola, ya udah sekarang siap-siap lho…” Sedikit perhatianku sama Andi sebagai seorang adik.
“Ok…!! Assalamu’alaikum….!!” Salam Andi.
“Wa’alaikumsalam…!!” Jawabku.
Aku pun segera mandi. Selesai mandi, aku duduk-duduk di teras rumah. Kejadian yang aku alami tadi selalu kuingat. Aku serasa mimpi, aku nggak percaya kalau aku sekarang punya seorang kakak, kakak yang sangat menyayangi aku. Harapanku udah terkabul buat memiliki seorang kakak. Begitu beruntungnya aku ini. Tak ada ungkapan yang bisa ku ucapkan buat menggantikan rasa senang yang aku rasakan.
Sore pun berganti malam. Tiba-tiba HP aku bunyi. Ternyata Andi memanggil.
“Hallo... Assalamu’alaikum…!!” Salamku sambil mengangkat telpon.
“Wa’alaikumsalam…!! Kamu lagi ngapain ?” Tanya Andi kepadaku.
“Nggak ngapa-ngapain kok, emang ada apa ?” Tanyaku heran.
“Emmm… boleh nggak aku sekarang main ke rumahmu ?” Andi minta izin sama aku.
“He’em kesini aja. Nggak apa-apa.” Jawabku singkat.
“Beneran nich nggak apa-apa ?” Andi meragukan jawabanku.
“Iya, beneran nggak apa-apa. Gitu aja pakai minta izin dulu. Masak kakak mau main ke rumah adiknya nggak boleh ? Kalau mau kesini, langsung aja kesini, nggak perlu malu-malu.” Aku mencoba meyakinkan.
“Tapi aku takut nanti kalau udah di rumah kamu, kamu mukulin aku, marah - marahin aku, gara-gara masalah tadi siang.” Ketakutan masih dirasakan oleh Andi.
“Nggak mungkin aku mukulin dan marah - marahin kamu. Masak anak orang diperlakukan kayak gitu… nggak mungkin banget kan ?” Lagi-lagi aku meyakinkan Andi.
“Kali aja kamu masih ada perasaan marah sama aku.” Andi masih nggak yakin.
“Udah dech… nggak percaya sama adiknya ya ?” Tanyaku sedikit kesal.
“Bukan begitu, aku percaya banget sama kamu. Ya udah bentar lagi aku kesitu.” Andi sudah merasa yakin buat ke rumahku.
“Ok dech… tak tunggu.” Jawabku singkat.
“Ok… Assalamu’alaikum…!!” Andi mennggakhiri pembicaraan.
“Wa’alaikumsalam...!!” Aku menjawab salamnya.
Aku pun menunggu kedatangan Andi dengan senang hati. Hampir dua minggu lebih Andi tidak kesini. Apakah ada perubahan pada dirinya, aku juga nggak tau. Selama ini aku hanya telpon-telponan saja sama dia.
Tak berapa lama kemudian dia udah datang.
“Assalamu’alaikum…!!” Salam dia didepan pintu.
“Wa’alaikumsalam…!! Ayo silahkan masuk, silahkan duduk.” Jawabku sambil mempersilahkan masuk.
Andi hanya tersenyum dan langsung duduk. Aku segera mengambilkan dia minum dan beberapa camilan buat menemani kami ngobrol.
“Oh ya, tumben kesini ? Kirain udah nggak mau ke rumahku lagi.” Tanyaku sambil becanda.
“Hmmm… tuh kan ? Mulai dech... Aku juga pengen kan ke rumah adikku.” Andi nggak mau kalah.
“Iya juga sich,.. aku juga pengen kakakku main kesini.” Aku juga nggak mau kalah.
“Aku kesini itu sebenarnya pengen minta maaf secara langsung sama kamu atas kesalahanku beberapa hari ini.” Penjelasan Andi kepadaku
“Tuh kan ? Bahas itu lagi dech…” Aku mulai kesal.
“Gini lho dik, aku mau ngelurusin semuanya, biar nggak ada salah paham lagi. Kemarin yang aku lakuin itu benar-benar pengen tau ketulusan kamu aja. Ternyata kamu emang tulus nganggap aku aku sebagai kakak kamu. Sebelumnnya aku nggak menyangka kalau kamu menganggap aku seperti itu.” Penjelasan Andi membuat hatiku luluh.
“Aku kan pernah bilang sama kamu, aku ngedapetin semua kasih sayang seorang kakak itu dari kamu. Kamu juga udah ngerti kan kalau aku dari dulu pengen banget punya seorang kakak, kakak yang bisa ngertiin dan ngelindungi aku. Sedangkan aku ini terlahir menjadi anak pertama. Nggak mungkin juga aku punya kakak sedarah. Tapi aku nggak patah semangat. Aku kenal sama kamu dan percaya kalau kamu bisa melindungi aku, hingga akhirnya aku nganggap kamu sebagai kakakku, itu udah lebih dari cukup. Aku nganggap kamu kakak sedarah aku.” Aku memberi penjelasan serius hingga membuat suasana hening.
“Dari semenjak kita kenal, aku juga pengen banget kamu jadi adik aku. Sekarang keinginanku buat punya adik terjawab sudah. Terima kasih banget ya kamu mau jadi adik aku ?” Jawab Andi sambil mengelus kepalaku.
Suasana menjadi haru karena keinginan yang sangat nggak mungkin terjadi, akhirnya terwujud juga. Kami sangat nggak menyangka kalau kami bisa mengalami kejadian seperti ini.
“Jadi, beneran nich kita jadi kakak adik ?” Tanyaku memperjelas lagi.
“He’em, kakak adik yang saling menyayangi.” Jawaban Andi meyakinkanku.
“Janji ya ? Kalau kita nggak akan saling mengecewakan dan harus saling menyayangi…” Persyaratanku sambil mengangkat jari kelingking.
“Janji !” Jawab Andi singkat sambil mengangkat jari kelingkingnya dan menyatukannya dengan jariku.
“Selamanya kita akan jadi kakak dan adik sejati.” Ucapku sama Andi bersamaan.
Akhirnya aku menemukan sesosok kakak dari diri Andi dan Andi juga menemukan sesosok adik dari diri aku. Kamu berjanji akan selalu menyayangi dan nggak akan mengecewakan satu sama lain.



Berkomentar yang sopan ya, Terimakasih sahabat..
EmoticonEmoticon